Minggu, Oktober 12, 2008

Sebuah Catatan Harian Pasca Lebaran 1429 H

oleh : Nilam Ramadhani

Tanpa terasa Ramadhan dan Idul Fitri 1429 H telah berlalu. Masih terngiang ketika jam 3 dini hari harus bangun untuk makan sahur dengan mata yang seolah terbebani sekarung pasir (walau terkadang puasa tanpa sahur), shalat tarawih, merasakan nikmatnya berbuka, hingga pada tanggal 1 Syawal, dengan hati sedih harus ditinggalkan oleh berkahnya bulan Ramadhan. Di hari yang fitrah itu, ramai sekali terdengar takbir yang berkumandang di segala penjuru wilayah di Pamekasan. Kegembiraan pun hadir di tengah kesedihan sepeninggal bulan suci Ramadhan.
Shalat Id berjemaah menjadi semacam puncak acara di dalam kesakralan Idul Fitri. Sebuah wujud syukur kepada Ilahi karena telah melalui segala “terpaan” kala berpuasa. Akhirnya, kesucian Idul Fitri berlanjut menjadi silaturrahmi kepada orangtua sepuh, keluarga, saudara, rekan, kerabat, dan tetangga. Perihal yang sudah lazim terjadi di masyarakat ini. Kala itu, setelah berma’af-ma’afan dengan keluarga dan tetangga, saya langsung mengunjungi orang dekat yang saya hormati di daerah “Spain”. Sebuah pertemuan yang sangat berkesan dan khidmat, mengingat fitrah manusia harus selalu “andhep ashor” kepada orang yang lebih tua.
Bagi saudara-saudara dan rekan lama yang merantau ke luar pulau, seperti sebuah keharusan bagi mereka untuk toron ke tanah Madura. Kerinduan yang tak terbendung akan tanah kelahiran menjadi dorongan tersendiri untuk kembali mencium aroma khas suasana daerah asal. Setidaknya itu alasan seorang rekan saya yang bekerja di Jakarta ketika ditanya tentang mudik. Ada lagi rekan yang berceloteh, “Aku kangen makan rujak cingur di Pamekasan dan kripik singkongnya”, sebuah alasan yang terdengar konyol, namun masih masuk akal. Beda lagi dengan alasan sahabat lama saya yang satu ini, “Aku kangen kumpul-kumpul sama teman SMA dulu, rujakan bareng, bersenda gurau, yah meskipun aku sudah berkeluarga tapi aku akan berusaha ngumpulin teman-teman lama dulu di basecamp”. Ada-ada saja hal yang bisa diceritakan dan dikenang pada lebaran ini.
Idul Fitri seperti menjadi sebuah momentum bagi saya, teman dan kerabat untuk saling melepas kangen sekaligus reunian. Secara pribadi, selain bertemu teman lama, saya juga diperkenalkan dengan orang-orang baru. Mulai dari seorang “Bu Dokter” muda, seseorang yang menurut saya berkesan, berkepribadian, berpendirian, dan memiliki selera humor yang khas, hingga dikenalkan dengan kerabat orangtua -yang mantan peneliti di LIPI Jakarta. Masih banyak lagi perkenalan yang lain yang sanggup memberi warna dan cerita pada fenomena toron kali ini. Mungkin itulah salah satu keberkahan bulan Syawal. Karena di bulan itu banyak dosa lalu yang telah melebur dengan isyarat kata maaf dan jabat tangan.
Itulah seiris peristiwa yang terjadi di Pamekasan, sebuah kota kelahiran tempat cikal bakal dimulainya beragam cerita dan kisah tak terlupakan. Bisa saja, goresan tinta yang berkisah pada lebaran tahun ini berbeda kekhusukannya dengan lebaran yang akan datang. Sebuah realitas dan rutinitas yang berbedalah yang membuat suasana silaturahmi tak pernah sama. Kesibukan kerja, keluarga, serta tuntutan yang lain adalah hal yang sanggup mengurangi kadar silaturrahmi. Namun apa dikata, itulah hidup, selalu penuh dengan dinamika. Manusia hanya bisa berencana, namun Allahlah yang menentukan!
Ketika suasana reuni itulah, sempat terpikir oleh kawan-kawan untuk membuat sebuah rutinitas “kumpul-kangen” di Pamekasan pada tiap lebaran. Tanpa berpikir panjang, seorang teman langsung berteriak : “Setuju, setuju!! Ide bagus itu! Bagus itu Bung, segera realisasikan!”. Kawan yang lain menimpal, : ”Emang gampang apa ngumpulin teman segitu banyaknya? Kesibukan kan udah beda!”. Dengan entengnya teman saya yang hi-tech memberi masukan bagus, : “Sudah, sekarang kan jamannya internet, gunakan saja fasilitas e-mail atau buat forum di dunia maya dengan web log, atau kalau masih terasa ribet, tinggal SMS aja, beres kan??!!”.
Memang forum silaturrahmi harus selalu dijaga dan dibina. Jika kita melihat visi kedepannya tentang Pamekasan dan Madura, hal itu sungguh logis. Jembatan Suramadu sebentar lagi rampung, (diperkirakan Maret 2009 selesai), maka peranan media silaturrahmi akan menjadi sebuah kebutuhan untuk kepentingan kemajuan Pamekasan kelak. Harapannya, bagi rekan-rekan yang bekerja dan memperoleh pengalaman yang progresif di tempat rantau, sanggup memberikan sumbangan pemikiran untuk Pamekasan.
Dengan kolaborasi berbagai macam pemikiran yang sevisi di berbagai bidang pekerjaan, hal itu nantinya dapat diramu dan diracik untuk diterapkan dalam keadaan waktu nyata dan lingkungan alami (real time and natural environment) di Pamekasan dan Madura. Tentu saja setelah melalui tahapan proses panjang serta sederet problematika di tengah jalan. Dengan begitu, perubahan wajah Pamekasan nantinya memang hasil kerja keras dari putra-putri daerah. Jangan seperti pepatah : “Kacang lupa akan kulitnya”, namun harus selalu ingat tanah yang dulu membesarkan kita.
Urbanisasi saat ini telah menjadi masalah serius terhadap lingkungan sosial, utamanya pada daerah metropolis seperti Jakarta dan Surabaya. Daerah lokal seperti Pamekasan dan Madura, harus sanggup memberi pilihan “lahan” pekerjaan, utamanya bagi penduduk lokal. Seperti berita di Koran Kompas (07/10/2008), Purwakarta sanggup mengurangi derasnya urbanisasi dengan memanfaatkan potensi daerah lokal sebagai bidang yang dapat diolah menjadi sebuah usaha mandiri bagi warganya. Meskipun angkanya tidak terlalu signifikan, setidaknya hal itu dapat membantu daerah target urban (Jakarta) dalam permasalahan urbanisasi yang kompleks.
Nah, Madura adalah daerah yang potensial. Untuk itu diperlukan sebuah SDM yang handal. Tentu saja untuk mencetak hal itu diperlukan sebuah konsep matang yang diawali dengan sebuah pemikiran ilmiah, yang menurut Diana Nomida Musnir harus mengacu pada kaidah futuristic-fundamental-scientific. Jika pijakan ideal namun efektif sudah ditemukan, sekarang tinggal realisasinya. Tentu saja kesemuanya membutuhkan keseriusan dan konsistensi.
Semua berawal dari mimpi. Wright Bersaudara dulu juga bermimpi bahwa manusia suatu saat akan bisa terbang. Bukannya sebagai Superman, tapi harus melalui kerja keras dan proses panjang hingga akhirnya pesawat terbang ditemukan. Dengan memajukan daerah asal, berarti hal itu juga sanggup membantu menurunkan angka urbanisasi. Harapannya, reunian tiap tahunnya tidak hanya sekedar reunian. Dibalik itu sesungguhnya ada hal yang lebih penting. “Ambeg Parama Artha”, banyak hal-hal yang penting, tetapi yang terpentinglah yang harus didahulukan.
Semoga cerita ini sanggup menggugah para rekan-rekan lama sekalian untuk terus berupaya membenahi dan memberi perubahan meski raga tak selalu hadir di Madura. Karena sesungguhnya kekuatan pikiran sanggup mengalahkan kekuatan jasmaniah. Selamat bekerja dan berjuang bagi semua rekan-rekan dan saudaraku di daerah rantau. Sukses bagi Anda!!

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan