Rabu, Desember 17, 2008

Refleksi Diri Di Penghujung Tahun 2008


Tanpa terasa saat ini kita tengah berada di bulan Dzulhijjah 1429 H atau pada bulan Desember 2008 M. Itu artinya, sebentar lagi kita akan beranjak memasuki momentum pergantian tahun. Baik itu pergantian tahun pada perhitungan hijriyah ataupun pada perhitungan masehi. Seakan waktu berjalan begitu cepatnya…detik per detik, jam demi jam, hari senin sampai minggu, januari menuju desember.
Yang menjadi kebiasaan orang-orang modern saat ini –dalam hal menyambut pergantian tahun (terutama tahun masehi), mereka justru merayakannya dengan beragam cara. Mulai dari meniup terompet, pesta, kumpul-kumpul, konvoi kendaraan bermotor, menyalakan petasan dan kembang api, dan lain-lainnya, yang kesemuanya notabene penuh dengan euphoria.
Yang menjadi tanda tanya kita (secara logis dan rasional) adalah, apa sih sebenarnya keistimewaan dari momentum pergantian tahun, sehingga orang mau beramai-ramai menyambutnya?? Toh sebenarnya pergerakan waktu sudah merupakan kehendak dari Tuhan (Sunnatullah). Waktu juga merupakan sebuah ketetapan yang tidak bisa diubah oleh manusia. Waktu juga seperti sesuatu hal yang abstrak, kita tidak dapat merasakannya secara fisik, namun kita bisa mengukurnya. Lantas mengapa pergantian waktu itu mesti disambut bak tamu yang begitu istimewanya??
Cara menyambut “tamu” yang baik bukanlah dengan berbagai aktivitas yang cenderung memberi kemudharatan –seperti yang umum kita lihat di kehidupan kita. Sampai-sampai, karena dikhawatirkan momentum menyambut tahun baru 2009 menimbulkan efek tindakan yang merugikan publik, aparat kepolisian RI menyiapkan sekitar 47.685 personilnya untuk mengamankan prosesi tahunan itu (MetroTV News). Hal tersebut menandakan, penyambutan tahun baru 2009 mendapat perhatian khusus dari POLRI, karena kecenderungan adanya tindak kejahatan dan hal yang tidak diinginkan terjadi nantinya.
Karena penyambutan tahun baru ini sangat banyak melibatkan massa, sehingga bisa diperkirakan juga tingkat polusi udara akan semakin bertambah. Yang biasanya ketika tengah malam atau dini hari aktivitas manusia tidak begitu padat, dengan momentum tahun baru ini justru sebaliknya, konvoi yang menggunakan kendaraan bermotor malah menambah asap yang berpotensi menjadi polusi udara. Apalagi beberapa waktu lalu Pemerintah menurunkan harga BBM, hal ini juga ditengarai dapat meningkatkan volume dari aktivitas arak-arakan kendaraan bermotor tersebut.
Jadi tidak heran, setelah usai acara “penyambutan”, banyak ditemui sampah yang tercecer di jalan-jalan. Hal ini tentunya semakin menambah beban kerja dari para Pasukan Kuning kita. Belum lagi kecenderungan lengangnya aktivitas secara umum, yang disebabkan kegiatan begadang semalam suntuk sampai pagi. Dan masih banyak lagi ekses negatif dari cara-cara penyambutan tersebut yang terkesan “tidak mendidik”.
Seharusnya, pergerakan waktu justru akan semakin membuat kita selalu ingat, bahwa tantangan hidup semakin kedepan semakin berat! Untuk itu diperlukan sebuah upaya yang lebih dari sekedar “penyambutan” yang tanpa dibarengi oleh kerja keras. Jika yang menjadi penekanan kita adalah prosesi tanpa adanya tindakan positif yang berimbang, itu sama saja artinya kita melalaikan waktu. Kebiasaan seperti contoh diatas disebabkan karena adanya kultur mind set yang menyatakan, bahwa pergantian tahun dapat serta merta merubah keadaan. Memang hidup harus terus dipenuhi dan dipupuk dengan rasa optimisme. Namun kalau kenyataannya pergantian tahun ini hanya sebatas perayaan dan kegiatan simbolistik, dan bukan mengisinya dengan berkarya, maka apakah hal itu akan dapat merubah suatu kondisi menjadi lebih baik?
Memang benar pepatah yang mengatakan : “Yang berlalu biarlah berlalu”. Kita jangan terlarut oleh kesedihan di masa lampau, jangan takabbur dengan kemenangan di masa lalu. Namun jadikan itu semua sebagai pelajaran hidup yang sangat bernilai untuk dijadikan refleksi di hari ini! Karena esensi hidup ada pada hari ini. Kita tidak akan pernah tahu besok kejadian apa yang akan menghampiri kita. Mungkin begini, mungkin begitu, bisa seperti ini, bisa seperti itu. Kita hanya mereka-reka dan merencanakan, namun kuasa penentu tetap ada di tangan-Nya.
Jadi, bentuk refleksi diri di penghujung tahun 2008 dan seterusnya, hendaknya lebih dititikberatkan pada proses pembenahan/perbaikan (koreksi), evaluasi, upgrade keilmuan/informasi, serta semua hal yang dapat meningkatkan inner value dalam pribadi kita (refleksi ke dalam). Upaya ini lebih rasional ketimbang merayakan tahun baru dengan pesta-pesta penyambutan yang meriah, konvoi di jalan, dan seterusnya.
Yang tidak kalah pentingnya, sejauh mana dampak dari “refleksi ke dalam” ini memberi manfaat terhadap orang-orang, lingkungan sekitar, dan semua hal yang merupakan sebuah interaksi (refleksi ke luar). Karena “refleksi ke luar” adalah “hirarki” tertinggi dari kebermaknaan seorang manusia. Oleh karena itu, jangan jadikan momentum tahun baru 2009 menjadi ajang bagi kita untuk melalaikan waktu. Tapi jadikan momentum itu sebagai refleksi diri agar terus melakukan perbaikan dan perubahan positif. Sehingga akhirnya waktu terasa lebih bermakna, dengan begitu –seperti bahasa iklan menyampaikan : “Bikin hidup lebih hidup!”.
Semoga…

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan