Selasa, November 11, 2008

Nilai Essensial Hari Pahlawan

oleh : Nilam Ramadhani

Tepat pada setiap tanggal 10 November, bangsa ini memperingati Hari Pahlawan. Karena pada tanggal itu, yaitu 10 November 1945 silam, telah terjadi pertempuran antara Arek-arek Suroboyo melawan tentara penjajah. Dengan bermodalkan semangat juang yang tinggi dan kegigihanlah, para kusuma bangsa tak gentar menghadapi lawan. Semua itu dilakukan dengan satu tekad dan satu tujuan, yaitu mempertahankan martabat bangsa yang tidak ingin dijajah dan ditindas oleh bangsa lain.
Nyawa adalah taruhan untuk kemerdekaan bangsa ini. Tak kenal rasa takut, tak peduli akan mati. Semua dikorbankan tuk memperoleh kemenangan. Kemenangan yang memang sudah menjadi hak milik dari rakyat Indonesia. Karena itulah, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Pahlawan yang gugur di medan tempur dengan menyandang sebagai pejuang yang mati terhormat.
Kiranya itulah gambaran sebagian kecil saja dari usaha para pejuang kita untuk melawan penjajah. Namun, disaat kondisi sekarang yang sudah merdeka, akankah masing-masing dari kita tetap mengingat dan menghayati nilai patriotisme dari para pejuang dulu? Karena meskipun Indonesia telah merdeka, dibalik itu masih ada musuh terselubung yang mesti kita lawan. Musuh itu bukanlah penjajah, namun “penjajah” bangsa kita saat ini adalah berwujud kebodohan. Dengan mengacu pada data dari Tempo Interaktif.com, yang melaporkan sebanyak 10,16 juta atau sekitar 6,22 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas masih mengalami buta aksara, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa bangsa ini masih terbelenggu oleh sulitnya warga untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Besarnya angka buta huruf yang berujung pada kebodohan itulah yang saat ini mesti kita perangi. Sebab, sekali saja kita lengah, dampaknya akan berujung pada runtuhnya harga diri bangsa, penindasan oleh negara lain, serta terjangkitnya wabah kemiskinan. Jika ini yang terjadi, maka -dapat dikatakan sia-sialah perjuangan para pejuang dulu untuk merebut kemerdekaan mutlak Indonesia. Karena, generasi penerusnya tak sanggup lagi melanjutkan amanat perjuangan para pahlawan, yang sejatinya mengisi kemerdekaan dengan berkarya untuk pembangunan bangsa. Modal utama untuk mewujudkan hal itu diantaranya adalah dengan memerangi kebodohan.
Kebodohan merupakan salah satu faktor penghambat bangsa untuk berkembang dan maju. Maka, diperlukan sebentuk upaya kritis dalam melawan “penjajah” era kemerdekaan ini. Pemerataan pendidikan harus segera direalisasikan. Mengingat sekolah dan pendidikan menjadi salah satu tumpuan utama dalam proses pembelajaran warga guna mencapai misi UUD, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena bagaimanapun, sekolah turut memberi andil tersendiri dalam upaya tersebut.
Untuk memerangi “penjajah” ini harus dilibatkan semua unsur yang ada di dalam bangsa ini. Individu, masyarakat/kelompok, institusi/lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi), dan pemerintah. Kesemuanya harus bisa saling memberi sinergi satu sama lain terkait penanggulangan hal yang sangat mendasar diatas (buta aksara). Hal itu untuk menekan jurang perbedaan yang begitu dalam bagi warga / rakyat yang masih dibelenggu kebodohan dan tidak meratanya pendidikan dan sekolah.
Dengan meresapi makna perjuangan dan spirit dari para pejuang kemerdekaan, setiap individu seharusnya memiliki keinginan dan kemauan untuk terus belajar, serta mengembangkan kompetensi sesuai bidangnya masing-masing. Hal ini ditujukan dalam rangka mengisi pembangunan pasca kemerdekaan (saat sekarang). Karena upaya mengisi pembangunan tak luput dari peran serta dari setiap individu di masyarakat. Jika telah terjadi kesepahaman dan kesadaran antar personal , maka dampak ini akan berlanjut pada upaya kelompok di masyarakat. Dukungan dan kiprah harus berujung terhadap perubahan sebuah komunitas sosial yang positif. Skala akan menjadi lebih besar andaikata tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki misi dan visi yang sama, yaitu untuk mengisi pembangunan.
Bagi institusi pendidikan/sekolah, hendaknya terus berupaya “mengenalkan” IPTEK yang setiap harinya mengalami proses dinamika. Tuntutan yang harus dijalankan membutuhkan sebuah terobosan dalam hal pembelajaran di sekolah. Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang sudah cukup menguasai pengetahuan dan teknologi yang diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Salah satu ujung tombak realisasi hal tersebut berada pada institusi pendidikan. Oleh karena itu, pemerataan pendidikan perlu dilakukan jika tidak ingin angka buta aksara tiap tahunnya terus membengkak.
Untuk itu, elemen terakhir yang perlu memberikan perannya adalah pemerintah. Pemerintah harus lebih peka melihat kondisi warganya. Salah satu upaya yang harus diterapkan adalah dengan memberikan dan menjalankan kebijakan-kebijakan (politik, ekonomi, pendidikan) yang lebih pro kepada rakyat utamanya tentang pemerataan pendidikan. Karena sebagai “penentu kebijakan”, haruslah menitikberatkan kepentingan terhadap rakyatnya.
Alhasil, sinergi keseluruhan elemen itu diharapkan menjadi “perjuangan” pasca kemerdekaan ini terhadap problematika bangsa yang klasik, yakni kebodohan dan buta aksara. Jadi perjuangan kita saat ini tidak dengan memegang bambu runcing, menghunuskan pedang, membidik musuh memakai senjata laras panjang, namun dengan terus berupaya menjaga kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan mengisinya dengan pembangunan manusia yang bermutu. Harapannya, hal ini sanggup mengeluarkan bangsa dari kendala yang justru menghambat amanat para pejuang dulu untuk tetap meneruskan cita-cita bangsa, yaitu bangsa yang maju dan bermutu. Salam Perdjoangan!!

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan



Raden Fahmi mengatakan...

kalo saya sih mengartikan hari pahlawan dan kesuksesannya dengan melihat, apakah sekarang kita itu hidup bahagia ato tidak...kalo kita hidup bahagia berarti itulah makna hari pahlawan....betul enje' ke'