Jumat, Februari 06, 2009

Jembatan Suramadu dan Akselerasi Pembangunan di Madura


oleh : Nilam Ramadhani

Masyarakat Madura kini boleh berbangga. Dengan dibangunnya jembatan Suramadu, warga Madura tampaknya telah memiliki ikon baru yang prestisius. Bagaimana tidak, jembatan yang menelan biaya sekitar Rp 4,5 triliun dan memiliki panjang 5,4 km itu akan menjadi jembatan terpanjang di Indonesia yang pertama kali menghubungkan dua pulau; Jawa dan Madura.
Namun kebanggaan itu janganlah berlebihan. Sebab, banyak kajian yang membahas tentang relevansi efek keberadaan Jembatan Suramadu dengan kecenderungan pada siapkah warga Madura akan tantangan yang terbentang kedepannya.

Keppres No 79 Tahun 2003 dan Sumber Daya Manusia di Madura
Menurut Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 2003 tentang tujuan dibangunnya Jembatan Suramadu adalah untuk lebih meningkatkan pembangunan di Pulau Madura, sebagai upaya dalam memacu perluasan kawasan industri, perumahan, dan sektor lainnya, serta mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan menghubungkan Pulau Jawa dan Madura.
Untuk merealisasikan output diatas, diperlukan adanya individu-individu kreatif yang siap berkompetisi. Di lain sisi, tingkat pendidikan warga Madura selama kurun waktu hingga sekarang ini, merupakan salah satu indikator penting akan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) lokal yang handal. Artinya, Keppres No 79 Tahun 2003 akanlah sia-sia jika tidak ada persiapan SDM mumpuni yang menunjang berbagai tujuan didalamnya.
Kekhawatiran itu bukanlah tanpa alasan.
Sebab pada tahun 2006 di Kabupaten Bangkalan, untuk kelompok usia sekolah tingkat atas, sebagian besar tidak melanjutkan atau tidak bersekolah lagi. Yaitu untuk kelompok umur 16 – 18 tahun sebesar 77,88 persen dan kelompok umur 19 – 24 tahun sebesar 91,83 persen (Sumber : BPS Kab. Bangkalan). Data tersebut cukup merepresentasikan kondisi pendidikan/SDM yang ada di Madura.
Memang banyak faktor yang dapat melatarbelakangi fenomena tersebut. Diantaranya, karena lemahnya keadaan perekonomian warga, dan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk itulah, diperlukan sebuah pembenahan tatanan yang nantinya dapat meningkatkan kualitas SDM di Madura.
Dalam konteks itu, pendekatan yang bersifat sosio-kultural sangatlah dibutuhkan. Karena menggiring kerangka berpikir masyarakat yang statis-monoton menuju dinamis-progresif dapat dilakukan (salah satunya) melalui dimensi budaya. Hal ini barangkali tidak terlepas dari kultur sejarah masyarakat Madura. Kuntowijoyo (2002) dalam penelitiannya menganalisis tentang ekonomi pertanian Madura dengan lebih memberi penekanan terhadap hubungan antara kondisi tanah dengan penduduk. Asumsinya, jenis tanah pertanian berpengaruh terhadap struktur sosial masyarakat yang pada akhirnya dapat mempengaruhi proses pembentukan sejarah/budaya (www.desantara.org).

Dua Pilar Pendidikan di Madura

Selain faktor karakteristik budaya, mediasi pendidikan merupakan mata rantai yang tidak boleh terabaikan. Tujuannya adalah untuk membangun paradigma berpikir masyarakat Madura yang agamis, edukatif-literate, dan aplikatif. Meskipun selama ini terdapat dikotomi pendidikan, yaitu sekolah umum dan sekolah agama/pesantren, janganlah hal ini menjadi batu penghalang. Perlu diakui, peran kiai di Madura sangatlah sentral, terutama terhadap eksistensi sebuah madrasah dan pondok pesantren (ponpes). Pengaruh figur kiai itulah yang mesti digunakan untuk memberi pemahaman kepada santri/nara-didik terkait peranannya menyongsong Suramadu.
Apalagi jika melihat prosentase antara jumlah santri pondok pesantren dengan murid di sekolah umum, sangatlah signifikan. Di kabupaten Pamekasan contohnya. Data pada tahun 2007 menyebutkan, jumlah santri yang terdiri dari santri mukim dan tidak bermukim total sebanyak 103.613 orang (Sumber : Kantor Dep. Agama Kab. Pamekasan). Sedangkan untuk sekolah umum negeri dan swasta (SD s/d SMU/Sederajat), total sebanyak 101.369 orang (Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Pamekasan).
Maka, “dominasi” pendidikan pondok pesantren di Madura itulah diharapkan lebih memberi perannya terhadap perkembangan daerah menyambut Suramadu. Anggapan lama terhadap perspektif pendidikan di pesantren adalah tempat yang mengajarkan hanya ilmu-ilmu agama murni untuk penyiaran agama Islam. Namun dalam perkembangannya pesantren tidaklah demikian. Istilah pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin (ilmu-ilmu agama) juga mengalami pengembangan makna, yaitu lembaga yang mendidik santri agar disamping menguasai ilmu-ilmu agama juga memahami realitas masyarakat (Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi).
Maka dalam menyongsong Suramadu, para santri harus dibekali pembelajaran yang berkenaan dengan penguasaan teknologi tepat guna. Respon inilah yang perlu digiatkan lagi keberlangsungannya. Sebenarnya di Madura sendiri telah ada sejumlah pesantren yang berinisiatif akan hal itu. Misal, Pesantren An-Nuqayah yang terletak di daerah sulit air di Sumenep Madura, telah banyak sumbangannya dalam penyediaan air. Pesantren ini telah membangun pompa hidran untuk dua desa dan pompa tali untuk tiga belas desa (Ali Riyadi, Politik Pendidikan, 2006).
Kedepannya antara sekolah umum dengan pesantren haruslah menjadi sebuah sinergi yang saling membangun. Karena kedua pilar pendidikan inilah fundamental keilmuan / mind set masyarakat Madura dapat ditanamkan dalam menyambut Suramadu. Harapannya, masyarakat Madura tidak perlu bingung lagi dalam memilih lembaga pendidikan sebagai wadah transfer ilmu pengetahuan. Terkait isu Suramadu, keduanya harus sanggup menyuguhkan solusi dalam mencetak SDM siap pakai.
Yang tak kalah pentingnya adalah pembenahan terhadap ketersediaan sarana pendidikan di sekolah-sekolah. Karena ketersediaan sarana belajar adalah faktor penunjang dalam kemajuan pendidikan. Artinya, sarana belajar lembaga pendidikan harus mengacu kepada standarisasi yang ditetapkan oleh Depdiknas dan Badan Akreditasi Nasional (BAN).
Tak terkecuali bagi pesantren. Meskipun pesantren adalah lembaga pendidikan non-formal, namun dirasa perlu memiliki standar mutu belajar, yakni dengan saling berkoordinasi dengan pihak terkait yang berkompeten. Di sinilah peran dari pemerintah diperlukan. Sebagus apapun konsep yang ditawarkan, jika tidak dibarengi dengan kebijakan pemerintah yang “bijaksana”, itu sama saja dengan kemandegan wacana.

Investasi dan Infrastruktur Pembangunan
Pesatnya pembangunan dan industrialisasi di Madura kelak tidak terlepas dari kelengkapan infrastruktur yang mendukungnya. Diharapkan dengan adanya gelar investasi seperti yang telah dilakukan Pemkab Pamekasan di Hotel Bumi Hyatt Surabaya (21/01/09), dapat memberi ruang terhadap ketersediaan infrastruktur pembangunan. Dengan ketertarikan para investor untuk menanamkan modalnya, menjadikan percepatan pembangunan di Madura semakin jelas realisasinya. Untuk itulah perlu adanya sokongan dari masyarakat Madura sendiri berupa stabilitas keamanan dan sikap kooperatif.
Tentu saja semua hal diatas perlu diawasi bersama oleh seluruh pihak yang berkepentingan beserta elemen yang ada di Madura. Karena melihat lagi tujuan dibangunnya Jembatan Suramadu yang merujuk pada Keppres No 79 Tahun 2003, semua lapisan haruslah memberi kontribusi positif. Jangan sampai tujuan itu melenceng apalagi diselewengkan, sehingga masyarakat Madura tidak dapat menikmati faedah dibentangkannya Jembatan Suramadu. Semoga…

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan