Jumat, Januari 02, 2009

Dicari : Wong nDeso dan Katrok!


oleh : Nilam Ramadhani

Pada awal-awal masa kuliah dulu, saya sempat merasakan apa yang disebut “dipinggirkan”. Saya beranggapan, alasan sebagian teman kampus “mengistimewakan” saya, karena hal yang cukup sepele, karena saya berasal dari “daerah”! Dan memang itu kenyataannya! Ketika berkenalan dengan siapapun, saya dengan pedenya mengatakan kalau saya berasal dari Pulau Garam. Jadi semakin hari semakinbanyak saja teman kampus yang mengetahui tentang kedaerahan saya itu. Suasana berkelompok-kelompok (nge-geng), dan pilih-pilih teman (terutama karena asal daerah) memang benar-benar pernah saya rasakan waktu itu. Maklumlah, kalau meminjam istilah populer Tukul Arwana, saya ini tergolong “Wong nDeso” dan “Katrok”. Jadi, susah rasanya bagi saya untuk dapat berbaur dengan mereka : wong kutho.
Dengan bermodalkan keyakinan bahwa saya tidak berbuat yang tidak-tidak terhadap lawan bicara saya, saya terus berupaya memperbaiki citra buruk yang sudah tertanam lekat terhadap “kedaerahan” saya itu. Pemukulan rata inilah yang sangat mengganggu batin saya waktu itu. Tak jarang pula saya sering dibuat bulan-bulanan, dan jadi bahan guyonan oleh rekan sekampus. Tapi itulah hidup, kadang sikap terbaik (memaklumi) perlu kita tempuh tatkala menghadapi orang-orang yang berbeda latarbelakang dengan kita.
Saya juga sempat kecewa dengan rekan satu sekolah dulu waktu di SMP, yang ketika memperkenalkan dirinya tidak pernah mau mengakui daerah asal kelahirannya. Bahkan bahasa daerahnya sendiri pun jadi lupa (aneh kan??). Mungkin alasan gengsilah yang mendasari teman saya yang satu itu. Memang sungguh sangat disayangkan, ketika rasa ego, malu, dan gengsi akan daerah asal mengalahkan kejujuran demi sebuah penerimaan dalam pergaulan.
Sebetulnya, masih banyak penggalan cerita lainnya yang memberi gambaran bahwa di masyarakat kita masih kental menganut pergaulan atas dasar daerah asal. Alias, wong ndeso harus “menyesuaikan diri” dengan wong khuto! Ditengah kemajemukan itu, apalagi jika image / pencitraan terhadap suatu golongan sudah sangat lekat (terutama yang jelek-jelek), diperlukan upaya untuk menepis itu semua. Memang bukan pekerjaan yang mudah, sebab dibutuhkan waktu untuk pemulihan “nama baik” itu.
Kecenderungannya, orang lain hanya melihat hasil, tidak pernah mau tahu bagaimana prosesnya ketika seseorang sudah berada dalam puncak kesuksesan. Orang lain hanya tahu Si Fulan telah menjadi orang kaya yang sukses, tanpa mau peduli seberapa banyak peluh yang sudah dikeluarkannya untuk mencapai kesuksesan itu.
Bagi orang yang lugu seperti saya, ketika mulai memasuki sebuah kehidupan baru di perkotaan tempat kuliah dulu, diperlukan sebuah adaptasi. Hendaknya, bentuk penyesuaian diri itu lebih tertuju kepada peningkatan kinerja seseorang. Sehingga, orang lain tidak bisa seenaknya saja meremehkan, sebab diri kita telah bermodalkan kemampuan! Julukan katrok, wong ndeso, akan terbantahkan ketika “si korban” sudah betul-betul menunjukkan skills, performa, prestasi, dan hasil positif. Ingat, orang lain hanya ingin tahu kita sudah sampai di pelabuhan, mereka tidak peduli dengan badai yang pernah menerjang kita di tengah laut! Sekiranya, hal itulah yang dapat menggeserkan asumsi ke-katrok-an seseorang.
Satu lagi, katrok juga dilekatkan terhadap seberapa banyak kita telah menguasai teknologi, utamanya teknologi informasi (TI). Hal tersebut cukuplah dapat dimaklumi, sebab peradaban kita saat ini lebih condong kepada gaya hidup yang serba dijital (digital lifestyle).
Jadi bagi seseorang yang masih gagap dengan kehadiran teknologi (GapTek), ?berarti? orang itu katrok. Sungguh tidak adil bukan?? Sebab, perangkat yang tergolong digital gadget ini tidaklah murah. Wajar saja kalau tidak semua orang dapat mempergunakannya. Apalagi bagi anak-anak dengan kehidupan keluarga yang pas-pasan. Jangankan untuk membeli handphone (HP) atau komputer, untuk makan sehari-hari saja masih susah!
“Kembali ke laap..topp”. Potongan kalimat tersebut mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga. Kalimat yang sering terlontar dari mulut seorang katrok Tukul Arwana. Ternyata, wong ndeso ada juga yang bisa mengakses perangkat digital, sehingga memberi kesan “canggih”. Kalau sudah begini, lantas apa bedanya wong ndeso dengan wong kutho? Katrok dan ndeso tidak selamanya memiliki asumsi negatif. Lalu, apakah kita akan terus-terusan bersembunyi dibalik “casing” ketimbang lebih mempedulikan “sinyal”? Kalau Tukul sering berseloroh, : “Gak pa pa jadi orang desa, yang penting rejeki kota, gak pa pa jadi orang desa, yang penting pola pikir kota!”
Jadi tidaklah penting kita mau berasal dari mana. Dari desa kek, kota kek, yang katrok lah, dan seterusnya. Toh pada akhirnya kita orang Indonesia juga. Maka, yang utama adalah seberapa banyak kita mau belajar, bersosialisasi, dan memiliki kinerja yang baik terhadap sebuah perubahan.
Kalau kita mau jujur, sebetulnya banyak juga orang sukses yang memiliki latar belakang ndeso dan katrok. Saya yakin, Bung Karno dulu pernah makan tahu-tempe, Pak Harto hobinya makan sayur asem -yang identik dengan makanan wong ndeso. Tapi makanan bukanlah tolak ukur seseorang bakal sukses atau tidak. Daerah asal juga tidak bisa dijadikan patokan kita akan berhasil atau gagal. Karena keberhasilan harus diawali dengan doa, kerja keras, dan konsistensi. Setidaknya pelajaran itulah yang dapat kita petik dari pengalaman orang-orang besar yang berpengaruh dan memberi perubahan. Kalau landasan itu telah kita terapkan, maka : “DICARI, WONG NDESO DAN KATROK!”

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan