Senin, Desember 01, 2008

Menciptakan Geliat Komunitas Berbasis Teknologi Informasi ( Part II )

oleh : Nilam Ramadhani

Untuk mengurangi jurang perbedaan “Pembagian Digital” (Digital Divide) di masyarakat, yaitu angka 1 untuk merepresentasikan orang-orang yang mengenal Teknologi Informasi (TI), dan angka 0 untuk merepresentasikan mereka yang belum mengenal TI, perlu digali lagi upaya yang berbasis kemitraan. Dalam hal ini, target (baca : masyarakat angka 0) adalah sekelompok orang yang perlu diberikan “pelatihan” yang berkenaan dengan kebutuhan/tuntutan zaman saat ini, yaitu teknologi.
Mengapa harus teknologi yang dikedepankan? Bukankah perkembangan pesatnya revolusi industri di Inggris dan Perancis sekitar abad ke-18 dikarenakan oleh masyarakatnya (baca : ilmuwan) yang menerapkan teknologi dalam memajukan kehidupan sehari-harinya. Dampak yang terjadi, teknologi sanggup memberi pilihan sebuah metode tepat guna yang manfaat positifnya dapat secara nyata dirasakan. Setidaknya, manusia sampai detik ini terus berupaya mencari dan memperbaharui teknologi-teknologi tepat guna yang dapat memberi perubahan.
Tak terkecuali untuk bidang TI. Informasi menjadi sebuah kebutuhan pokok masyarakat kita pada era komputerisasi global seperti saat ini.
Tanpa adanya TI, segala bentuk data/informasi tidak dapat dikomunikasikan kepada khalayak yang berkepentingan secara efektif dan efisien. Ada sebuah kejadian menarik, pada tanggal 19 Juni 1865 budak di Texas baru mengetahui bahwa perbudakan telah dihapuskan dengan dikeluarkannya “Emancipation Proclamation” pada tahun 1863 oleh Lincoln. Membutuhkan waktu dua (2) tahun agar informasi itu sampai kepada para budak sebelum mereka akhirnya dapat menikmati kebebasan. Jika saja waktu itu informasi dapat diterima lebih cepat, maka mereka pun dapat lebih cepat bebas.
Oleh karena itu, penting kiranya untuk terus berupaya menggalakkan dan menggerakkan sebuah sistematika yang didalamnya mengandung unsur pengenalan TI yang aplikatif. Tak lain adalah, untuk menciptakan masyarakat yang (minimal) up to date dan jauh dari anggapan “Gaptek” (Gagap Teknologi).
Meskipun menurut pakar teknologi dari University of Washington Craig Smith, yang menyatakan bahwa kemampuan masyarakat untuk mengakses informasi bukanlah tolak ukur yang penting pada era informasi seperti saat ini, namun setidaknya dengan banyaknya informasi yang dapat diperoleh dan diserap oleh masyarakat, akan sanggup memberi masukan dan pengetahuan yang berimbang.
Smith juga memaparkan bahwa penekanan agar masyarakat dapat “survive” di era informasi global, diperlukan well educated workers, pendidikan yang berkualitas dan pelatihan teknologi bagi kaum mayoritas (awam), kemampuan yang bersifat teknis, serta dibukanya akses masyarakat terhadap pendidikan dan technical training.
Sedang untuk di Indonesia sendiri, banyak kendala yang ditemui di lapangan dalam rangka menciptakan masyarakat yang mengalami digital divide ini. Diantaranya ialah sulitnya akses terhadap infrastruktur yang berkaitan dengan listrik dan perangkat, kurangnya komunitas yang memiliki SDM mumpuni, serta tidak pekanya pemerintah dalam menyikapi permasalahan diatas.
Tujuan tulisan ini barangkali tidaklah relevan bagi masyarakat di kota-kota besar yang notabene memiliki gaya hidup modern (digital lifestyle). Namun bagaimana bagi masyarakat awam? Meskipun ada data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang menyebutkan bahwa ada sekitar 20 juta pengguna internet (representasi angka 1) di awal tahun 2008, akan tetapi secara prosentase angka itu masih sangatlah kecil bila dihitung dari total jumlah penduduk di Indonesia, yaitu hanya 9% saja. Bandingkan dengan Taiwan dan Hongkong yang masing-masing prosentasenya 40% dan 26,7% dari total rumah tangga (Newsbyte, 2001). Jadi dapat dikatakan, masyarakat Indonesia dalam hal akses informasi khususnya internet masih minim.
Yang jadi soal, bagaimana caranya agar meningkatkan daya akses masyarakat terhadap teknologi informasi ditengah massa yang majemuk (plural society) ? Karena beragamnya aspek sosial yang ada, menyebabkan proses pencapaian itu tidak dapat berjalan dengan mulus. Yang paling penting dilakukan adalah independensi upaya mengenalkan TI. Karena mau sampai kapan kita (rakyat) yang diberi kelebihan harus terus-terusan bergantung kepada pemerintah atau lembaga/institusi pendidikan. Karena pada kenyataannya masih saja ada kegagalan (entah karena lemahnya konsep atau tidak adanya dedikasi) dalam upaya mengatasi kesenjangan digital ini. Misal, kurangnya sosialisasi akses internet di sekolah-sekolah, kegagalan program pemberdayaan masyarakat dalam bidang TI, dan seterusnya.
Sebenarnya, masing-masing dari kita adalah penentu sekaligus pemain untuk mengurangi kesenjangan digital di masyarakat. Apalagi jika kita hidup ditengah-tengah masyarakat yang masih awam tentang TI. Peran-serta dan dedikasi adalah langkah awal dalam proses pencapaian meminimalisir gap digital divide. Perwujudannya, dengan terus membangun dan melobby kegiatan berbasis TI yang dilakukan secara berkelompok (komunitas). Harapannya, hal ini sanggup memberi sumbangan pemikiran, ide, pengalaman, pengetahuan dengan membagikannya kepada seluruh anggota komunitas (share community).
Selain di dunia nyata, share community juga perlu terus dibangun dalam dunia maya ( cyber space ). Alasannya, dunia maya saat ini menjadi sebuah trendsetter dibukanya sebuah interaksi dan market share baru. Dengan banyaknya informasi yang “dimasukkan” ke dunia maya, hal itu akan semakin mengatasi kekurangan referensi dalam memajukan share community tersebut. Mengapa? Karena dalam membangun suatu komunitas, seringkali dibutuhkan swadaya dan swadana. Disitulah perlunya interaksi dengan dengan “dunia luar” (internet) sebagai bentuk independensi komunitas kepada pemerintah atau institusi-institusi formal.
Langkah inisiatif seperti memang perlu ditempuh untuk dapat membantu diri kita sendiri keluar secara perlahan dari citra “kesenjangan digital”. Tak lain hal tersebut menunjukkan, bahwa masyarakat sanggup memberi perubahan terhadap dirinya sendiri tanpa harus selalu bergantung kepada “janji-janji” yang pernah dilontarkan oleh para pembuat kebijakan yang duduk di kursi teras atas. Seperti Winston Churchill pernah berucap, “Kita mencari nafkah dari apa yang kita peroleh, tetapi kita meraih kehidupan dari apa yang kita beri”.
Semoga…

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan