Minggu, Januari 04, 2009

Gaya Hidup dan Wabah Dehumanisasi

oleh : Nilam Ramadhani

Modernisasi merupakan sebuah dampak dari berkembangnya peradaban manusia. Di satu sisi, hal itu adalah sebuah bentuk pemenuhan akan kebutuhan manusia. Sedangkan disisi yang lain, perlu adanya upaya mawas diri terhadap akibat yang ditimbulkannya. Konsekuensi dari proses berjalannya modernisasi ini, yaitu dengan terus membentengi diri dengan sikap terbaik sebagai seorang pribadi. Karena mustahil bagi kita mengelak dari arus modernisasi ini. Namun sebagai makhluk yang berakal, kita seharusnya dapat mengendalikannya. Bukankah begitu?? Karena perubahan perilakulah yang mesti diwaspadai. Mengingat banyaknya media yang beredar yang dapat menghipnotis masyarakat menuju gaya hidup menyimpang.
Tak bisa dipungkiri, tayangan televisi (terutama sinetron) merupakan salah satu media yang sanggup memabukkan para penontonnya. “Obat bius” yang disuntikkan oleh sinetron kita, kadarnya cukup mencengangkan. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh AC Nielsen terhadap 100 program televisi kita pada periode Desember 2006 menunjukkan, sepuluh peringkat teratas dihuni oleh tayangan sinetron. Dengan dominasi sinetron berseri sebesar 43 persen. Sedangkan untuk tayangan berita, prosentasenya hanya 2 persen saja!
Hal inilah yang patut diwaspadai oleh semua pihak. Sebab, sinetron kita saat ini banyak mengambil tema tayangan yang berorientasi kepada keduniawian, materialistik, glamour, intrik kekuasaan, jual tampang (cantik dan tampan), kekerasan, serta ajaran dehumanisasi. Atau dengan kata lain, tayangan sinetron kita tidak pernah memberi didikan, dan cenderung mengikis budaya asli Indonesia menuju kebiasaan yang jauh dari kebersahajaan.
Kalau semua yang ada di dunia ini diukur secara materialistik (benda mati), maka apalah bedanya nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) dengan topeng kemewahan? Setidaknya gambaran tersebut yang tersirat dalam tiap lembar episode sinetron. Gaya hidup kebendaan semacam itulah yang kian memperjelas gejala dehumanisasi dalam kehidupan masyarakat kita. Sebab, semua hal diukur berdasarkan : seberapa tampan/cantik saya didepan orang lain? (dengan menghiraukan inner value, dan kompetensi pribadi). Yang penting penampilan saya, masa bodoh dengan kemampuan berpikir saya, itu urusan belakangan! Kemudian, seberapa sering saya dapat menunjukkan prestise kepada orang lain karena sanggup membeli barang mewah, berkelas, bermerk, dan mahal. Karena barang-barang tersebut dapat menaikkan “derajat” saya di mata orang lain itu.
Maka jelas, gejala “kosmetik” perilaku dengan polesan “bedak matre” dapat menyuburkan dehumanisasi. Itu artinya, manusia telah melecehkan dirinya sendiri! Penghargaan terhadap manusia begitu rendahnya, yakni hanya seukuran benda mati! Semestinya, manusia bisa mencapai derajat tertinggi hanya dengan keilmuannya, kemuliaan, serta kepatuhan terhadap Sang Pencipta. Tolak ukur itulah yang sejatinya menjadi standar dari penilaian seseorang. Karena hal mendasar itu yang membedakan kita dengan makhluk hidup ciptaan Tuhan lainnya.
Ada seorang pribadi yang lebih percaya diri (PD) dengan penampilannya ketimbang sisi hati nurani, akal, rasio, dan psikisnya. Fenomena tersebut dikarenakan, masih dominannya sisi duniawi daripada pemaknaan dari kehidupan dunia itu sendiri. Jangan heran kalau gerusan dehumanisasi memantik sikap gengsi, ingin mencapai segala sesuatu dengan instant, dan keengganan untuk terus selalu belajar.
Memang, disisi yang lain hidup harus dilandasi dengan sikap realistis. Untuk itulah, perlu adanya keseimbangan (balance) antara proses (perilaku) dengan tujuan kita hidup di dunia. Jika kita mengartikan hidup sebagai sebuah tahapan menuju kebermaknaan, maka seberapapun gaya hidup yang kita ambil, tak kan pernah mengusik dan melecehkan sisi kemanusiaan orang lain.
Melalui beberapa identifikasi diatas, perlu kiranya tiap individu yang “sadar” agar bersama-sama memberantas wabah dehumanisasi yang kadung menyebar ini. Bukan dengan (salah satunya) mengambil “pelajaran” dari tayangan sinetron kita yang kebanyakan tidak bermutu itu, tapi dengan memunculkan lagi budaya asli Indonesia yang mulai luntur. Karena sebetulnya budaya Indonesia sangat sarat dengan pemaknaan hidup, kebersahajaan, kebersamaan, kekeluargaan, dan kepatuhan kepada Sang Pencipta.
Keseluruhan upaya diatas tak terlepas dari model pembentukan karakter pribadi. Kekuatan karakter merupakan sebuah pola yang dapat menuntun diri kita menuju kebermaknaan hidup. Deepak Chopra menuliskan dalam bukunya, The 7 Spiritual Laws of Success, bila kita hendak memanfaatkan sepenuhnya tentang tujuan hidup, maka salah satu komitmen yang harus dipenuhi adalah : “Aku akan mencari jatidiriku yang lebih tinggi, yang berada di luar jangkauan egoku, dengan cara latihan spiritual”.
Yang tak kalah penting, semua upaya menuju kebermaknaan hidup tidak akan datang dengan sendirinya. Ia bukanlah suatu bawaan lahir seperti halnya anggota tubuh kita. Namun, kita diminta untuk membuat satu keputusan. Tentunya, keputusan itu nantinya diharapkan membawa kita menuju kebermaknaan hidup. Semoga…

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan