Rabu, Oktober 15, 2008

Merosotnya Budaya Akademik Kampus dan Degradasi Etika Pendidikan Publik

oleh : Nilam Ramadhani*)

Dalam kehidupan kampus / Perguruan Tinggi (PT) terdapat beberapa budaya yang berkembang. Menurut Mochtar Buchori, setidaknya ada empat budaya yang berkembang dalam kehidupan perguruan tinggi kita saat ini. Budaya itu terdiri : 1. Budaya Birokrasi, 2. Budaya Bisnis, 3. Budaya Militerisme, dan 4. Budaya Akademik. Namun yang menjadi pertanyaan kita, dari keempat budaya itu manakah yang seharusnya paling dominant dalam kehidupan akademik kampus?
Jika melihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini di lingkungan PT, seperti berita di media massa yang melaporkan bahwa ada PTS di Jatim yang ditengarai menerbitkan ijasah instant + aspal, maka dapat diduga bahwa budaya yang seharusnya melekat pada lembaga pendidikan mulai luntur oleh segenap hawa nafsu yang menyalahgunakan kewenangan demi meraup sebuah keuntungan.
Hal itu dikarenakan, seperangkat birokrat kampus mulai “melupakan” fungsi dari keberadaan lembaga pendidikan yang bernama PT, yang seharusnya bertujuan mencerdaskan bangsa melalui pendidikan. Dari perilaku itu bisa dilihat tingkat kompetensi akademik dari jajaran birokrat kampus yang mulai meragukan. Karena yang diutamakan adalah meluaskan budaya bisnis dan budaya birokrasi. Hal itu tercermin dari sejumlah pelanggaran akademis yang seharusnya tidak terjadi jika masing-masing civitas akademika kampus memahami peran (role) serta kewajibannya.
Yang menarik, masyarakat (nara didik kampus) juga “kooperatif” dalam keterlibatan budaya bisnis itu. Seperti berita dari TEMPO Interaktif (21/12/03), tertulis sebanyak 13 orang pejabat birokrat berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara, menggunakan ijazah palsu guna mendongkrak pangkat dan jabatannya di birokrasi.
Itu artinya, dalam masyarakat kita sudah merebak “penyakit” degradasi etika pendidikan. Merosotnya sebuah motivasi memajukan diri sendiri yang dilatarbelakangi ingin mendapatkan nilai profit secara instant telah menjadi tren di kalangan masyarakat kita, terutama bagi orang-orang (pejabat) yang bekerja di sebuah instansi pemerintahan. Karena dalam suasana kerja mereka, yang dilakukan hanyalah sebuah rutinitas mekanis belaka. Dalam arti, pekerjaan tidak membiasakan seseorang itu mengembangkan pola pikir serta imajinasinya. Pekerjaan seperti mengekang akan sebuah kebebasan untuk berpikir lebih maju/progresif. Dengan rutinitas yang sama tiap harinya, tentu akan “mematikan” daya logika dan nalar kritis seseorang. Hal inilah yang membuat banyaknya oknum yang memilih jalan pintas mendapatkan ijasah aspal ditengah tuntutan pekerjaan dan ingin menaikkan posisi jabatan di birokrasi kantor/instansi.
Degradasi etika pendidikan publik bisa disebabkan juga karena budaya di sekolah kita (mulai SD sampai PT), masih menerapkan pola/system pembelajaran konsumtif. Selama masa studi, nara didik dibiasakan dengan mendengarkan, menghafal, mengulang, dan pasif. Atau lazimnya Paulo Freire menyebut system pembelajaran semacam ini adalah “ala bank”.
Seharusnya, nara didik dibiasakan dengan system pembelajaran produktif. Dalam artian, nara didik (subjek-utama) harus dibiasakan aktif, berusaha mencari ilmu dan pengetahuan serta mengolahnya sendiri, yang tentunya dibimbing oleh pendidik (subjek) yang aktif membantu nara didik hingga menemui jalan keluar dalam kendala belajar di sekolah.
Dengan begitu, nara didik akan terbiasa mengembangkan nalarnya dalam proses belajar di sekolah. Harapannya hal itu dapat berlanjut ke dalam kehidupan nyata di masyarakat, sehingga memunculkan kesadaran, yang menurut Paulo Freire disebut “Kesadaran Kritis”. Jika masyarakat sebagai subjek didik dibiasakan untuk memunculkan kesadaran kritis dalam dirinya, maka hal itu setidaknya akan memunculkan upaya analisis kritis untuk menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya serta akibatnya terhadap keadaan masyarakat.
Desain pembelajaran yang mengacu pada permasalahan sosial di masyarakat sanggup melahirkan sebuah solusi yang menyoroti akan sebuah realitas. E.G.. Olsen dalam School and Community (1954) menyatakan sistem pembelajaran di sekolah harus bersifat life-centered. Yang menjadi pokok pelajaran ialah kebutuhan manusia, masalah-masalah dan proses-proses sosial yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat adalah laboratorium dimana anak belajar, menyelidiki, dan turut serta dalam upaya-upaya komunitas yang mengandung unsur pendidikan. Dengan jalan demikian, terbukalah pintu antara sekolah dengan masyarakat, sehingga sekolah dapat memasuki masyarakat dan masyarakat juga dapat memasuki sekolah.
Upaya untuk memunculkan kembali budaya akademik yang sempat tercoreng perlu dilakukan oleh semua tingkatan pendidikan. Karena proses itu melahirkan sebuah dampak sebab-akibat. Nah, budaya akademik perlu mendapatkan porsi utama dalam kehidupan lembaga akademik, utamanya PT. Dengan mulai menata kesadaran diri serta menerapkan system pembelajaran efektif, diharapkan akan memunculkan lagi geliat akademis yang mulai menurun.
Bagaimanapun, keseluruhan upaya diatas diperlukan adanya sebuah kerja keras (pembelajaran) dan kompetensi. Sedangkan kompetensi lahir dari gabungan pengembangan dimensi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap/perilaku), serta psikomotor (keterampilan). Dengan melihat hubungan sebab akibat, berarti lembaga pendidikan telah mampu melakukan penafsiran masalah-masalah secara mendalam.
Lembaga pendidikan seharusnya memberikan prinsip pembelajaran secara ilmiah yang ditunjang oleh referensi fundamental kepada nara-didiknya. Hal ini yang oleh para ahli pendidikan disebut sebagai “the method of intelligence”. Tujuannya, agar kebiasaan berpikir nara-didik lebih ditekankan kepada sebuah kajian keilmuan (scientific) yang berimbang. Hal ini akan lebih merangsang terciptanya sebuah budaya akademik, sekaligus memperbaiki degradasi etika pendidikan publik yang dibarengi dengan kesadaran kritis tadi.
Dua elemen, yaitu lembaga pendidikan dan masyarakat haruslah menjadi tumpuan utama berkembangnya budaya akademik dalam dunia pendidikan, serta menggeser jauh-jauh budaya pendidikan lain yang merugikan rakyat banyak. Untuk itu diperlukan sebuah kesungguhan dan konsistensi dalam proses pencapaiannya. Semoga..

*) penulis adalah staff pengajar di UNIRA Pamekasan Madura, tulisan adalah pendapat pribadi.

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan