Sabtu, April 25, 2009

Pengalaman Pertama Menjadi TPI UNAS


oleh : Nilam Ramadhani

Pada tanggal 20 sampai dengan 24 April 2009 lalu, saya berkesempatan menjadi TPI UNAS (Tim Pemantau Independen Ujian Nasional) tingkat SMU. Kebetulan, saya ditugaskan mengawasi pada SMU swasta yang letaknya tak jauh dari rumah. TPI UNAS dibentuk berdasarkan Permendiknas Nomor 78 Tahun 2008, yang secara umum bertujuan agar pelaksanaan UNAS lebih objektif, berkeadilan, dan akuntabel. TPI UNAS melibatkan semua unsur pendidikan, termasuk didalamnya adalah Perguruan Tinggi. Jadi, harapan dibentuknya TPI adalah sebagai kontrol agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan selama berlangsungnya UNAS.
Namun, masih saja terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dapat mencoreng kualitas dan kemurnian dari UNAS. Banyak media massa dan elektronik memberitakan adanya kecurangan ini. Misalnya ditemukan kunci jawaban soal yang sudah tersebar kepada peserta UNAS pada beberapa sekolah di nusantara. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kebocoran soal sebelum naskah ujian diberikan. Bisa jadi kebocoran itu berpangkal pada proses percetakan dan juga pendistribusian naskah soal ke sekolah. Kalau sudah begini, lantas apa yang menjadi latarbelakangnya? Kenapa masih saja terjadi pelanggaran yang “diluar kemampuan” peserta UNAS itu?
Pada kenyataannya, pelaksanaan UNAS masih menjadi momok yang menakutkan. Setidaknya itu yang dirasakan oleh pihak sekolah, siswa, dan para orangtua. Mengapa? Karena evaluasi kelulusan siswa yang menempuh studi kurang lebih 3 tahun di sekolahnya, ditentukan oleh hasil UNAS yang berlangsung selama 5 hari saja itu. Jika ada satu saja nilai mata ujian yang dibawah standar, maka dapat dipastikan peserta yang bersangkutan tidak lulus. Meskipun ada ujian susulan atau bahkan Paket C, tetap saja kekhawatiran selalu membayangi. Di lain sisi, tidak ada perbedaan level soal untuk tiap sekolah. Tingkatan soal dipukul rata bagi semua sekolah negeri, swasta, perkotaan, dan pelosok. Hal inilah yang semakin menambah deg-degan sejumlah pihak akan hasil UNAS nantinya.
Bagi sekolah yang terletak di pedesaan misalnya, memiliki kecenderungan pada terbatasnya akses informasi, pengetahuan serta buku-buku penunjang pelajaran. Dikarenakan medan dan aspek geografis sehingga pendistribusian buku pelajaran menjadi terhambat dan terlambat. Belum lagi faktor minimnya dana yang sanggup digalang bagi sekolah tertentu. Pendanaan menjadi salah satu tolak ukur penting akan kemajuan sebuah sekolah. Dengan dana yang tersedia, akan memudahkan bagi sekolah untuk mengadakan berbagai fasilitas operasional penunjang belajar, salah satunya adalah buku.
Hal tersebut mungkin tidak berlaku bagi sekolah yang letaknya diperkotaan, yang notabene akses informasinya lebih cepat. Pengaruhnya, terjadi perbedaan tingkat intelektualitas pada siswa sekolah di perkotaan dan di pelosok desa. Namun, belum ada mekanisme yang dapat memberikan fleksibilitas adanya disparitas tingkat intelektual pada naskah soal UNAS. Siswa dengan tingkat kecerdasan dibawah rata-rata memiliki kesamaan dalam mengerjakan soal UNAS dengan siswa yang sudah up to date terhadap informasi dan pengetahuan.
Memang masih maraknya pelanggaran UNAS melibatkan banyak aspek mata rantai dan hukum sebab-akibat. Jadi permasalahan diatas tidak bisa ditinjau dari satu sisi saja. Lagipula, tingkat kelulusan siswa tidak dapat dijadikan tolak ukur mutlak kualitas dari sebuah hasil pendidikan. Banyaknya siswa yang lulus UNAS di sebuah sekolah bukanlah sebuah patokan sekolah tersebut dapat menjamin kualitas output-nya. Karena parameter kualitas diukur berdasarkan proses yang berlangsung cukup lama. Maka, wajar saja jika masih terjadi pelanggaran pada pelaksanaan UNAS tiap tahunnya.
Bagi siswa, orangtua, dan sekolah, lulus adalah sebuah hasil yang paling didambakan. Tentu saja karena akan dapat mengurangi beban berat yang dipikul selama kurun waktu 3 tahun terakhir. Karena kalau kelulusan yang diperoleh, ancang-ancang untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi dapat segera direncanakan. Tapi, dengan adanya kriteria penilaian UNAS yang selama ini berlangsung, hal itu membuat pihak terkait menjadi harap-harap cemas. Maka tak heran kalau kadang kala untuk mendapatkan kelulusan semua cara ditempuh.
Bagi masyarakat luas, tentulah berharap agar tingkat jumlah kelulusan juga berbanding lurus dengan kualitasnya. Karena kalau hanya lebih mengandalkan kuantitas-dan menghiraukan kualitas, maka arah pendidikan kita seperti sebuah formalitas belaka. Intinya, pembenahan tidak boleh dipandang pada sisi siswa atau sekolahnya, tapi juga harus terus mengevaluasi sistem pendidikannya. Kalau semua aspek dapat ditata dengan baik, harapannya tidak terjadi lagi hal yang dapat mencoreng dunia pendidikan kita. Memang bukan hal yang mudah, tapi itu merupakan tugas dan tanggungjawab semua pihak. Bagaimana dengan Anda?

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan