Rabu, April 01, 2009

Menjadi Anak Kost, Siapa Takut??


oleh : Nilam Ramadhani

Tidak ada artinya memang bagi orang yang pernah jadi anak kost kurang lebih 8 tahun, harus “mengulang” hal itu kembali dalam 10 hari saja. Setidaknya hal itu yang terjadi pada diri saya. Sejak 21 Maret sampai dengan 2 April 2009, saya harus dirumah sendirian. Maklum, Ibu harus ke Balikpapan karena ada kepentingan keluarga disana. Tinggallah saya sebatang kara dirumah (kalau Caca Handika bilang : “Bagaikan Angka Satu”:) ). Untungnya masih ada hal-hal yang dapat “mengalihkan” perhatian ketika rasa sepi menghinggapi. Katakanlah ada tetangga yang baik , ponsel untuk sekedar SMS dan say hello kepada kawan, dan sesekali juga saya memainkan chords gitar nylon akustik yang setia menemani.
Hal itulah yang mengingatkan akan nostalgia dulu ketika masih menjadi anak kost. Semua urusan harus di handle sendiri. Mulai dari mencuci baju, menyetrika, beli makan, bersih-bersih rumah, mempersiapkan tugas-tugas untuk kuliah, dan sebagainya. Pelajaran dari menjadi anak kost pastinya masih membekas bagi yang telah mengalaminya. Setidaknya, kemandirianlah yang akan dicetak setelah menjalani pengalaman sebagai anak kost.
Status anak kost biasanya disematkan bagi mahasiswa pendatang yang menempuh studi di tempat yang jauh dari daerah asalnya. Karena mengontrak kamar adalah pilihan murah yang realistis ketika kita berada di “negara” orang. Syukur-syukur ada keluarga yang mau “menampung” hidup kita selama masa studi itu :) . Namun prosentase untuk hal demikian sangatlah kecil. Paling tidak hal itu dibuktikan dengan semakin banyaknya pilihan kamar/rumah kost bagi mahasiswa yang ingin mengontraknya. Dengan variasi fasilitas yang diberikan, tentu akan mempengaruhi harga sewanya.
Anak kost sangat identik dengan jauh dari pengawasan orangtua. Karenanya, bentuk kontrol utama harus dilakukan oleh diri sendiri. Tak ayal, banyak perilaku dari mahasiswa di tempat rantau cenderung terbawa arus oleh beragamnya latar belakang dan lingkungan. Dari yang sebelumnya belum mengenal apa itu narkoba, malah ingin coba-coba. Awalnya katrok, setelah berinteraksi dengan lingkungan barunya, berubah menjadi wong kutho yang gaul abiss :) .
Tapi tidak sedikit pula yang malah menjadi lebih baik. Karena hidup di lingkungan rantau, maka semakin membuat yang bersangkutan lebih banyak menyerap sesuatu hal yang terbilang baru. Dengan beragamnya inputan yang diterima, maka banyak pula pengetahuan dan pengalaman yang dapat ditimba. Tentunya, perubahan yang lebih baiklah yang diharapkan. Mengingat, posisi anak rantau cenderung lebih rentan terhadap segala sesuatu yang berada didepannya. Apalagi kalau bukan karena kurangnya waskat (pengawasan melekat) dari orangtua atau keluarga.
Disinilah pentingnya sebuah kesadaran diri. Ketika kita sudah menyadari bahwa menjadi anak kost haruslah serba mandiri, maka segala kemungkinan resiko yang terjadi nantinya harus benar-benar diperhitungkan. Karena kita tidak pernah tahu, kemungkinan apa yang bakal terjadi. Memilih teman untuk bergaul juga akan berdampak terhadap perilaku dan pola pikir seiring interaksi yang dilakukan. Mencari teman baru ketika hidup jauh dari orangtua adalah pilihan yang baik untuk menambah “keluarga” baru. Kalau bukan teman, siapa lagi yang mesti diandalkan tatkala seseorang –katakanlah diterpa masalah.
Akan tetapi, pertemanan yang salah juga dapat menggiring kepada hal yang terbilang negatif. Tidak sedikit memang ada insiden memalukan yang melibatkan status anak kost diekspos oleh media massa. Misalkan saja, pesta shabu yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa di rumah kontrakannya, kasus bunuh diri seorang mahasiswi karena malu menanggung aib sebab sang kekasih tak mau mengakui janin bayi yang dikandungnya, dan masih banyak lagi tentunya. Kesemuanya bermula dari sebuah pergaulan yang tanpa kontrol dan kurangnya bentuk mawas diri.
Bisa saja wanti-wanti, kontak telepon 3 hari sekali, atau bahkan “ceramah” dari orangtua tidak mempan dalam upaya kontrol terhadap si buah hati. Kesemuanya itu bagaikan angin lalu kalau tidak dibarengi oleh kesadaran diri dari sang anak. Sadar akan tujuannya pergi merantau (untuk studi), sadar bahwa orangtua menaruh harapan besar, dan sadar akan semua hak serta kewajibannya. Jika telah memiliki arah dan visi yang jelas, dapat dipastikan semua hal yang dikhawatirkan akan menjadi minimalis. Karena tak dapat dipungkiri juga, terkadang arus pengaruh negatif lebih dominan ketika bentuk mawas diri mulai bergeser.
Sudah semestinya kehidupan anak kost seperti demikian. Untuk itulah, jangan meminta lingkungan untuk berubah sesuai kehendak kalau diri sendiri tidak mau berubah. Yang terpenting, bagaimana bisa membawa diri di tengah majemuknya orang-orang, perilaku, latarbelakang, dan kebiasaan. Mungkin hal itu sangatlah relevan dengan pepatah berikut : ”Matahari memang terbit dari Timur, tapi di tanah inilah kaki dipijakkan”. Selamat menjalani jadi anak kost (bagi yang menjalani :) ).
Wassalam...

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan