Jumat, November 21, 2008

Menata Kesepahaman 'Penduduk' Kampus

oleh : Nilam Ramadhani

Saat ini kelihatannya kejadian memalukan semisal antar mahasiswa bentrok dan tawuran seperti yang terjadi di NTT beberapa waktu lalu telah menjadi sebuah “budaya”. Apakah ini cerminan dari sejumlah aktivitas mahasiswa yang ada di tanah air? Padahal kurikulum perkuliahan tidak pernah mencantumkan matakuliah “tawuran” dalam prosesnya. Lantas mengapa hal tersebut saat ini seolah menjadi trend yang terkesan macho, “men rules”, atau bahkan sebuah hal yang wajar. Yang paling disayangkan, mahasiswa yang sejatinya berkiprah dalam bidang-bidang keilmuan dalam rangka membangun IPTEK bangsa, justru berperilaku layaknya orang yang tidak terdidik, liar, melanggar hukum, karena berujung pada tindakan anarkisme.
Tanpa berpikir panjang banyak civitas akademika (mahasiswa) yang mengambil jalan pintas ala hukum rimba dalam menyikapi sebuah kejadian. Hal ini sangat berkaitan -barangkali dengan kondisi psikologi yang dirasakan dalam kesehariannya. Bisa jadi itu merupakan hasil “didikan” lingkungan masa lalu yang dapat memicu tingkat emosional seseorang. Atau karena heterogenitas dari unsur-unsur yang terdapat pada diri mahasiswa yang rentan akan gesekan. Akibatnya, hal tersebut akan menghasilkan sebuah perilaku menyimpang yang merugikan.
Pemicu kejadian diatas pun tergolong sepele, misal karena berebutan “lahan” halte bis, saling ejek, dan ada pula perilaku premanisme dalam kampus. Bagi orang awam yang mendengar kejadian itu pastilah bertanya-tanya, benarkah mahasiswa saat ini telah “beralih fungsi dan tugasnya” menjadi sosok yang jauh dari taraf intelektual??
Karena jika atribut intelektual itu disematkan, hendaknya tanggungjawab yang melekat haruslah dilakukan. Yang jelas bukan dengan menampakkan aksi brutal, pemukulan, pelemparan, pengrusakan, yang kesemuanya jelas merugikan. Namun harus menunjukkan prestasi-prestasi akademik yang dapat membawa dan mengangkat image positif kampus di mata masyarakat umum.
Pada dasarnya, jika merunut pada misi Tri Dharma Perguruan Tinggi, civitas akademika (mahasiswa salah satunya) seharusnya lebih aktif pada kegiatan yang berporos pada bidang keilmiahan, perkuliahan, penelitian, dan terakhir adalah pengabdian kepada lingkungan sosial sekitar (masyarakat). Jika hal mendasar ini dipahami dan diresapi betul dalam kesehariannya, maka orientasi kehidupan kampus akan terus berupaya memajukan pendidikan yang notabene saat ini mulai mengalami kemerosotan/degradasi (moral dan akademik).
Mahasiswa sebagai salah satu elemen pembangun kampus, seharusnya terus berupaya menjaga nama baik almamaternya (suka atau tidak suka). Karena hal itu merupakan salah satu wujud dari loyalitas dan pengabdian terhadap institusi. Untuk itulah, dibutuhkan sebuah upaya untuk “menyadarkan” dan menata kesepahaman paradigma dalam kaitannya untuk mengikis pola pikir yang cenderung berakhir brutal tersebut. Salah satunya dengan lebih memperbanyak porsi kegiatan belajar / perkuliahan yang menitikberatkan kepada eksplorasi dan imajinasi keilmuan. Setidaknya hal tersebut dapat “mengalihkan” dan dapat menata mind set dari mahasiswa untuk terus melakukan pembelajaran serta selalu meng update pengetahuannya.
Sehingga, kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan nantinya akan menjadi semacam “sifat dasar” serta berdampak pada bawaan psikologis mereka. Yang terekam adalah bagaimana untuk mengembangkan dan memajukan tingkat wawasan dan keterampilan yang positif. Memang sebuah hal yang penting dan mendasar dari semua itu adalah proses kesadaran diri. Sikap sadar akan tanggungjawab, hak, kewajiban, serta profesionalisme akademis. Hal itulah yang semestinya menjadi paradigma mendasar dari seorang mahasiswa. Karena bentuk penghargaan yang tinggi akan diberikan kepada seseorang yang memiliki catatan prestasi akademik yang baik.
Sumbangsih yang paling relevan bagi mahasiswa terhadap kampusnya adalah memberikan “hadiah” berupa track record akademik yang mumpuni. Yaitu dengan betul-betul melakukan hal yang semestinya dilakukan oleh seorang akademisi. Bukannya mempermalukan almamater dengan bertindak anarkis dan liar. Jangan terlalu berbangga karena anarkisme itu dipublikasikan oleh media massa. Justru jika hal itu terjadi, hendaknya menjadi pelajaran berarti supaya tidak menjadi hal yang dilakukan berulang-ulang.
Di lain sisi, pihak kampus semestinya juga harus lebih peka melihat fenomena ini. Untuk itu, harus diterapkan sistem perkuliahan serta pemberian fasilitas belajar yang representatif. Hal ini sebagai tindak lanjut dari mengalihkan dan menyediakan ruang bagi setting paradigma menuju psikis education. Karena sebagus apapun konsep yang ditawarkan, namun jika tidak ada media yang aplikatif, maka itu sama saja dengan kevakuman akan sebuah sistem. Sebab, sebuah dinamika membutuhkan deretan proses serta permasalahan yang disitu diperlukan adanya jalan keluar (solusi).
Dengan melihat dan menganalisis realita yang ada di lapangan, tentunya akan dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan. Kesimpulan itulah yang mesti ditindaklanjuti oleh pihak kampus sebagai upaya untuk menggiatkan aktivitas akademik. Jadi permasalahan diatas janganlah selalu menyalahkan pada salah satu pihak saja. Diperlukan adanya inisiatif dan cara pandang yang positif dalam menyikapi sebuah permasalahan. Sebab, mahasiswa dengan pengelola kampus seperti dua sisi yang menyatu. Kemunduran dari mahasiswa merupakan refleksi dari tidak mampunya kampus dalam mengelola permasalahan itu.
Untuk itulah diperlukan sikap legawa, terbuka, serta terus menjalin kerjasama seluruh elemen kampus dalam rangka meningkatkan porsi kegiatan yang berorientasi pada pendidikan dan keilmuan. Tidak lain hal itu untuk secara pelan-pelan mengubah sudut pandang masyarakat luas yang terlanjur antipati terhadap tindakan/kejadian memalukan oleh segelintir sosok pribadi akademik. Karena sudah seharusnyalah pribadi beratribut intelektual bersikap dan bertindak intelektual. Semoga…
Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan