Jumat, Oktober 03, 2008

Hentikan Praktik Jual Beli Gelar / Ijasah!!

oleh : Nilam Ramadhani *)

Maraknya Jual Beli Ijasah
Gelar atau titel kesarjanaan bagi sebagian besar orang merupakan sesuatu yang menghias dikiri dan kanan dari nama. Gelar menjadi sebuah prestise tertentu, karena dengan begitu akan menambah tingkat kepercayaan diri seseorang. Namun yang lebih esensi adalah, gelar merupakan suatu bentuk amanat dan tanggungjawab bagi seseorang yang mengembannya. Ironisnya, sekarang ini esensi dari gelar yang merupakan amanat dan tanggungjawab itu sudah mulai sirna. Hal ini ditandai dengan banyaknya praktik jual beli gelar/ijasah. Dengan membayar sejumlah uang, maka tak perlu menunggu lama untuk kuliah, ijazah sudah dapat diambil.
Seperti berita dari TEMPO Interaktif (21/12/03), tertulis sebanyak 13 orang pejabat birokrat berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara, menggunakan ijazah palsu guna mendongkrak pangkat dan jabatannya di birokrasi. Kejadian/kasus pemalsuan ijazah, seperti diberitakan bahwa polisi menyegel ruangan yang dipergunakan oleh Yayasan Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI) di Jakarta, karena Yayasan IMGI diduga telah menerbitkan ijazah palsu untuk gelar S1, S2, dan S3. Dan masih banyak lagi tentunya kejadian serupa yang mencoreng dunia pendidikan itu.

Degradasi Etika Pendidikan Publik
Hal ini mencerminkan sikap ingin mendapatkan sesuatu yang lebih dengan cara-cara serba instant! Lantas dimanakah letak esensial dari menuntut ilmu yang bermanfaat untuk tujuan yang bermanfaat pula itu? Jika segala sesuatunya bisa diukur dengan uang, maka dapat dipastikan golongan yang berduitlah yang paling berpeluang untuk mendapatkan kesempatan, meski dengan cara-cara yang tidak gentle. Banyak faktor yang melatarbelakangi kejadian yang “tidak mengherankan” itu, diantaranya adalah semakin bobroknya moralitas individu atau terjadi degradasi etika pendidikan publik, serta sistem dan pelaku pendidikan yang tidak konsisten (baca : melanggar hukum) terhadap aturan yang terbalut dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Lembaga Pendidikan Tinggi hendaknya harus bisa menjalankan peran (role), tanpa perlu takut akan adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu yang ingin menyalahgunakan wewenang dan tanggungjawab. Sebagai penyelenggara pendidikan, harus lebih mengutamakan kualitas pendidikan, bukannya lembaga yang dapat mengobral dan melakukan jual beli ijazah, sehingga tidak ada peningkatan intelektualitas peserta didik yang merata. Dengan masih banyaknya sarjana yang betul-betul kuliah namun kualitas keilmuannya masih dibawah ekspektasi, minimnya karya ilmiah yang dibuat dan dipublikasikan, banyaknya sarjana yang masih “belum laku” di pasar kerja, maka jadikan hal ini adalah pemicu diadakannya sebuah revolusi pendidikan. Jika dibandingkan dengan sesuatu yang serba instant, dalam hal ini sarjana “karbitan”, jangan ditanya dan dibayangkan seperti apa tingkatan kualitasnya (pastinya meragukan!).

Bersekolah, Tidak Singkat!
Kita tahu bahwa untuk menempuh studi jenjang strata 1 saja secara normal membutuhkan waktu kurang lebih 4 tahun dengan asumsi IPK memuaskan, jika IPK >3,5 / cumlaude, masa studi dapat dipersingkat menjadi 3,5 tahun, dengan catatan jika tanpa halangan apapun selama studi berlangsung. Jika agak molor, pastinya masa studi itu diatas 4 tahun. Dengan asumsi-asumsi riil seperti itu, dapat digarisbawahi bahwa menempuh ilmu dan memantapkan ketrampilan membutuhkan waktu yang cukup lama, jadi bukan waktu satu atau dua bulan saja.
Gambaran-gambaran akan susahnya bersekolah, dan beban berat seorang sarjana telah dilantunkan secara gamblang oleh penyanyi legendaris Iwan Fals lewat lirik lagunya yang berjudul Sarjana Muda, berikut petikannya :
...
Engkau Sarjana Muda resah mencari kerja, mengandalkan ijazahmu..
4 tahun lamanya bergelut dengan buku, tuk jaminan masa depan.
Langkah kakimu terhenti didepan halaman sebuah jawatan..
...
Engkau Sarjana Muda resah tak dapat kerja, tak berguna ijazahmu..
4 tahun lamanya bergelut dengan buku, sia-sia semuanya…”

Realita yang dituliskan dalam lirik lagu tersebut merupakan sebuah gambaran nyata di negeri tercinta ini. Yaitu setelah bersusah-susah kuliah dan menelan biaya banyak, luluspun harus terlebih dahulu bergelut untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan harus gigit jari jika “tak berguna ijazahmu”. Penyebab klasiknya adalah kurangnya lapangan kerja yang tersedia, dan semakin menumpuknya jumlah lulusan sarjana tiap tahunnya. Namun bagaimana bagi pihak-pihak atau seseorang yang membeli gelar/ijazah untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti misal untuk memuluskan kenaikan jabatan, dan hal sejenis? Tampaknya mereka-mereka ini tak perlu “4 tahun lamanya bergelut dengan buku” , cukup “3-4 bulan lamanya menulis absent di kelas” dengan membayar sejumlah uang tentunya, dan secara ajaib ijazah instant + aspal didapat.

Tegakkan Aturan dan Sistem Pendidikan
Untuk itulah pihak penyelenggara pendidikan dan orang-orang “berkerah putih” yang terkait didalamnya, dituntut untuk segera melakukan perubahan yang berarti, terutama masalah peningkatan mutu pendidikan, serta penegakan aturan / sistem pendidikan yang lebih bernurani dan peduli rakyat kecil, karena pendidikan lebih merupakan sebuah amanat daripada hanya sekedar mencari keuntungan darinya. Dengan maraknya jual beli ijazah dan semua penyimpangan amanat pendidikan tersebut, tak ada cara lain selain semua individu yang berkompeten, harus bersama-sama menyembuhkan borok yang sudah pada level akut ini, agar tidak menyebar kepada benih penerus generasi bangsa. Dengan begitu, harapannya media massa dikemudian hari tidak melulu menuliskan berita tentang bobroknya sistem dan pelaku pendidikan nasional kita, namun memberitakan tentang prestasi prestisius yang berhasil dicapai oleh barisan generasi intelektual bangsa dikancah lokal, nasional maupun internasional. Hanya kesungguhan untuk berubahlah yang menjadi modal dasar perubahan itu sendiri.

*) penulis adalah pemerhati pendidikan,
mengajar di UNIRA Pamekasan Madura
Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan