Senin, Oktober 06, 2008

Penerapan Mekanisme Pasar Dalam Dunia Pendidikan Kita

oleh : Nilam Ramadhani *)

Ditengah mahalnya biaya pendidikan/perkuliahan di perguruan tinggi negeri (PTN) saat ini, lembaga penyelenggara pendidikan itu justru secara terang-terangan menyebutkan besarnya “harga” masuk. Bagi pihak kampus, “transparansi harga” ini dinilai wajar. Menurut mereka, besarnya pengeluaran minimum yang ditanggung kampus per mahasiswa masih belum cukup ter-cover dari kuota jalur masuk yang diberikan.
Sebut saja Universitas Padjajaran (UnPad) Bandung. Menurut Rektor Ganjar Kurnia, Unpad tetap mempertahankan kuota 55:45 untuk SNMPTN dan seleksi jalur mandiri. Untuk jalur mandiri yang dinamakan Seleksi Masuk Universitas Padjadjaran, biaya yang dipersyaratkan dalam seleksi ini adalah Rp 175 juta untuk Program Kedokteran, Rp 15 juta-Rp 16 juta untuk kelompok program eksakta lainnya, dan Rp 10 juta-Rp 45 juta untuk kelompok non-eksakta. Diakuinya, dengan adanya kuota 45 persen dari jalur khusus ini saja, Unpad masih sulit memenuhi unit cost (biaya) ideal Rp 18 juta per tahun per mahasiswa. Kisaran yang baru tercapai adalah Rp 13 juta. Pemerintah “hanya” memberi subsidi Rp 110 miliar per tahun untuk gaji dosen dan pegawai lain. Sementara total biaya operasional tahunan sekitar Rp 320 miliar (Kompas.com,07/05/2008).
Bahkan pada pihak lain, diakui oleh Pembantu Rektor I Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Ravik Karsidi, pembukaan jalur Penelusuran Bibit Unggul Sekolah (PBUS) dan SPMB swadana di UNS adalah untuk memperluas akses masuk bagi calon mahasiswa. Diakuinya juga, jalur ini adalah jalur ”pintar dan kaya” (Kompas.com,12/05/2008).
PTN di tanah air seperti berlomba secara terang-terangan untuk menaikkan tarif masuknya kepada calon mahasiswa. Hal ini akan berdampak pada semakin menjauhkan PTN dari keinginan masyarakat kebanyakan (rakyat kecil) untuk mendapatkan fasiltas (yang katanya) lebih baik dari PTS dan PT kecil lainnya. Meskipun ada bantuan pemberian beasiswa kepada sejumlah mahasiswa, namun prosentase jumlah itu masih sangat kecil. Contoh, di Unpad Bandung memberi kesempatan 53 orang mahasiswa baru tidak mampu tiap tahunnya. Untuk tahun ajaran 2008/2009, prosentase jumlah itu berarti hanya 0,53 persen dari total mahasiswa baru yang diterima, yaitu 10.000 orang.
Yang mengherankan lagi, seluruh kuota mahal dan tidak lazim itu justru laris manis diminati calon mahasiswa (termasuk orangtuanya tentu saja). Hal ini yang (mungkin saja) dijadikan tolak ukur PTN untuk selalu menaikkan harga posisi tawarnya. Bagaimana tidak, kenaikan biaya kuliah pertahunnya (atau secara berkala) selalu dikaitkan dengan mekanisme pasar. Harga BBM naik, sembako naik, biaya pendidikan lantas menyesuaikan, naik juga!
Kompleksitas permasalahan pendidikan, terutama pembiayaan dan pendanaan tidak bisa serta merta dikaitkan dengan mekanisme pasar. Jika itu menjadi acuan, maka artinya di negara ini jelas terjadi pemilahan, disparitas pemberian pelayanan pendidikan antara Si Kaya dan Si Miskin (rakyat kurang mampu). Hukum ekonomi yang menyatakan bahwa : “Dengan modal sekecil-kecilnya, untuk mendatangkan laba sebesar-besarnya” tampaknya juga diberlakukan pada dunia pendidikan kita. Bagi mereka (calon mahasiswa dan orangtuanya) yang memberi “penawaran” tertinggi kepada pihak kampus, bisa dipastikan akan mendapatkan sesuatu (pendidikan) yang ditawarnya.
Memang sangat memilukan, tapi itulah yang terjadi. Lantas dimanakah letak tugas dari lembaga pendidikan sebagai wadah untuk mencerdaskan bangsa dan memerangi kebodohan? Jika kenyataannya sudah buram, maka dapat dipastikan rakyat kecil akan selalu bodoh dan terus menerus menjadi golongan yang tetap terpuruk dalam kemiskinan. Jika metode kapitalisme di dunia kampus ini dibiarkan saja, maka jangan bermimpi bangsa ini akan maju pendidikannya. Prestasi gemilang yang diraih putra-putri terbaik Indonesia di berbagai ajang olimpiade keilmuan tingkat dunia, jangan dijadikan patokan pendidikan di tanah air sudah “sempurna”. Masih banyak yang harus diperbaiki dan ditata, terutama segala urusan yang berhubungan dengan uang!
Budaya terpinggirkan, disisihkan, harus selalu disematkan kepada kaum e-lit (ekonomi sulit). Setidaknya hal ini yang tercermin dari penerapan sistem pendidikan di negara kita. “Hukum” yang diberlakukan PTN terkait penerimaan mahasiswa baru adalah hukum jual beli pasar. Siapa yang sanggup membayar, dia yang pantas mendapatkan barangnya! Namun, (secara nurani) dapatkah pendidikan (ilmu) disamakan “derajatnya” dengan barang? Sudah terlalu banyak beban yang harus diemban kaum e-lit. Pemerintah seharusnya memberi kebijakan yang tidak memberatkan ditengah kondisi perekonomian yang kurang stabil.
Sementara itu, untuk mengurangi dampak kenaikan BBM, Pemerintah memberikan dana Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM). Pengalokasian anggaran sebesar Rp 200 miliar yang diambil dari APBN-P itu rencananya akan dibagikan kepada sekitar 400.000 mahasiswa miskin di 83 PTN dan 2700 PTS di Tanah Air. Besarnya BKM adalah Rp 500.000 per semester dan diberikan mulai Juli 2008 silam. Meskipun pemberian BKM ini masih banyak mengundang kontroversi dari sejumlah kalangan, namun pada kenyataannya jumlah dana yang diterima per mahasiswa itu sangatlah belum cukup jika mengaca pada besarnya biaya kuliah secara keseluruhan.
Yang terpenting adalah bukanlah pemberian bantuan yang sifatnya sesaat, namun bagaimana menciptakan iklim pendidikan terjangkau dalam jangka waktu lama. Maka yang utama bukanlah dana BKM, kompensasi BBM, atau bantuan lainnya. Meskipun cukup membantu, namun seharusnya pembenahan dilakukan pada tingkat birokrasi kampus. Karena jika tatanan ini masih menerapakan hukum jual beli pasar, BKM dan bantuan kompensasi lainnya itu ibarat setitik air yang menguap di teriknya hari. Apalagi BKM bersifat dadakan, sebab tidak ada sosialisasi sebelumnya. Lagi-lagi yang akan terjadi adalah bantuan salah sasaran! Karena kampus tidak cukup waktu mendata mahasiswa mana yang betul-betul layak mendapatkan dana bantuan itu.
“Bantuan sesaat” bukanlah jawaban utama. Seharusnya yang ditekankan oleh kampus adalah bagaimana membuat lembaga pendidikan itu dapat menerima semua kalangan. Hal ini tentu saja perlu didukung oleh semua elemen tanah air yang ada. Penerapan mekanisme pasar seharusnya diganti dengan sistem pendidikan kerakyatan. Langkah ini masuk akal dan lebih realistis jika negara ini betul-betul ingin mengamanatkan pemerataan pendidikan. Sehingga prestasi gemilang yang akan dicetak kelak, betul-betul merupakan representasi dari seluruh komponen pendidikan yang ada pada bangsa ini. Kita pasti BISA!!!
*penulis adalah staff pengajar di UNIRA Pamekasan Madura
Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan