Jumat, Agustus 22, 2008

Sinkronisasi Sistem Pendidikan dan Tuntutan Dunia Kerja

oleh : Nilam Ramadhani
Staff Pengajar di UNIRA Pamekasan Madura

Tiap tahunnya PTN dan PTS di Indonesia “melahirkan” sarjana-sarjana baru.. Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, pada ajaran 2005/2006, jumlah mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi negeri dan swasta sebanyak 323.902 orang. Bahkan jumlah tiap tahunnya selalu meningkat. Namun yang menjadi kendala adalah, apakah keseluruhan sarjana tersebut dapat terserap ke dalam dunia kerja? Tunggu dulu. Meskipun sarjana tiap tahunnya bertambah, itu sama saja artinya dengan penambahan pengangguran baru. Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjukkan,dari 2000 sampai 2005 jumlah penganggur sarjana cenderung mengalami pasang surut. Akan tetapi, pada 2005 data pengangguran lulusan universitas semakin melonjak. Tercatat pada tahun 2000 jumlah penganggur lulusan universitas mencapai 277.000 orang, 2001 meningkat sedikit menjadi 289.000 orang, 2002 menurun sedikit jadi 270.000 orang, 2003 menurun lagi menjadi 245.000 orang, dan pada 2004 meningkat tajam menjadi 348.000 orang. Pada 2005 lebih meningkat lagi menjadi 385.418 orang. Belum lagi survey dari BPS yang menyebutkan, pada Februari 2007, jumlah sarjana yang menganggur sekitar 700 ribu orang. Dengan rincian 151 ribu lulusan diploma I/II, 179 ribu lulusan akademi/diploma III dan 409 ribu lulusan sarjana strata satu.
Hal inilah yang harus dijadikan acuan PTN dan PTS untuk memperbaiki sistem pendidikan yang berorientasi kepada terserapnya lulusan/alumnus ke dunia kerja. Karena pada kenyataannya, para lulusan/sarjana belum sepenuhnya siap terjun ke dunia kerja yang sesungguhnya. Meskipun dalam kurikulum perkuliahan terdapat matakuliah PKL (Praktik Kerja Lapangan), hal itu belum cukup menjawab akan tuntutan dunia kerja. Sebab untuk menumbuhkan kemantapan dalam mempersiapkan tuntutan kerja diperlukan sebuah intensitas pembelajaran serta pengenalan dunia profesionalisme yang berkesinambungan. Ketidaksinkronan perkuliahan di kelas dengan profesionalisme dunia kerja inilah yang harus dicermati oleh lembaga pendidikan tinggi sebagai faktor yang harus diberi perhatian lebih.
Sebetulnya banyak upaya/pilihan yang dapat dilakukan untuk proses sinkronisasi tersebut. Misal, perguruan tinggi harus intens menjalin kerjasama (membangun mitra kerja) dengan perusahaan-perusahan. Dengan inisiatif itu, paling tidak hal tersebut dapat memberi jalan dan gambaran kepada peserta didik untuk mengetahui perusahaan lebih dalam dan spesifikasi apa yang dibutuhkan. Dengan begitu, pihak lembaga pendidikan dan peserta didik dapat mengambil ancang-ancang dan persiapan yang strategis untuk melangkah dan memasuki dunia kerja ke depannya. Dengan banyak melakukan komunikasi terhadap perusahaan-perusahaan, setidaknya akan membuat peserta didik melek akan dunia kerja, termasuk pemberian informasi kesempatan kerja/rekruitmen karyawan.
Proses dinamisasi seperti paparan diatas perlu dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi, mengingat perubahan pada masyarakat sangat menuntut akan adanya sebuah sistem/kurikulum yang tepat sasaran. Menurut pandangan Prof. Dr. S. Nasution, M.A. dalam bukunya, Asas-Asas Kurikulum, disebutkan bahwa isi kurikulum harus senantiasa dapat berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. Karena kurikulum harus dinamis, dan ini hanya mungkin dengan bentuk kurikulum yang fleksibel, yakni yang dapat diubah menurut kebutuhan dan keadaan. Dengan demikian, kurikulum itu cukup elastis, sehingga senantiasa terbuka kesempatan untuk memberikan bahan pelajaran yang penting dan perlu kepada peserta didik pada saat dan tempat tertentu. Masih dalam kutipan buku tersebut, menurut E.G. Olsen dalam School and Community, dituliskan bahwa, sekolah itu mendasarkan kurikulum pada proses-proses dan problema-problema kehidupan dalam masyarakat. Inti kurikulum terdiri atas kebutuhan manusia dalam masyarakat sekarang dan masa depan, seperti soal mencari nafkah, kewajiban warga Negara, menjaga kesehatan, memperbaiki kehidupan kekeluargaan, dan sebagainya.
Jadi PTN dan PTS jangan melulu mengacu pada kurikulum/sistem pendidikan yang dirasa tidak bisa memberi solusi akan terserapnya alumnus ke dunia kerja. Hal ini penting dilakukan, mengingat berbagai masalah pelik yang semakin menumpuk terkait bertambahnya jumlah pengangguran kalangan terdidik (baca : sarjana), berawal dari tidak sinerginya sistem perkuliahan yang diterapkan di dalam kampus, dengan kriteria profesi yang diinginkan oleh perusahaan penyedia lapangan kerja. Perguruan Tinggi (PT) juga harus selalu mengevaluasi program studi/jurusan yang mengalami kejenuhan dan dirasa tidak memiliki relevansi terhadap kebutuhan kerja, di tengah kondisi perekonomian saat ini yang tidak stabil. Seharusnya, PT perlu membuat peta kebutuhan kerja jika ingin membuat program studi/jurusan baru. Karena jika diabaikan, beberapa faktor diatas akan dapat memicu semakin bertambahnya pengangguran terdidik yang ada.
Namun yang tidak kalah pentingnya adalah, PT juga harus dapat membekali dan memfasilitasi peserta didiknya dengan pengetahuan dan pengembangan kewirausahaan (entrepreneurship). Selain mempersiapkan tenaga kerja yang professional, PT juga harus mampu memberi alternatif solusi yang justru dapat menciptakan lapangan kerja secara mandiri. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan PT dengan perusahaan penyerap tenaga kerja. Dengan lebih menggiatkan kegiatan kewirausahaan, para peserta didik tidak perlu cemas jika sudah lulus nantinya. Karena, para lulusan ini sanggup untuk menciptakan lapangan kerja sendiri.
Harapannya, PT harus sesegera mungkin merumuskan dan menerapkan penyelesaian masalah (problem solving) akan semua ketimpangan yang ada. Pentingnya perubahan sistem pendidikan yang lebih mengacu pada realitas yang terjadi di masyarakat, merupakan hal yang mendasari permasalahan diatas. Meskipun output tidak serta merta didapat sesuai harapan dan kenyataan nantinya, setidaknya langkah awal yang tepat sudah dilakukan. Kesinambungan (kontinuitas) akan penataan dan perubahan sistem pendidikan, akan mengantarkan PT kepada kondisi yang membuat peserta didik nantinya keluar dari lingkaran permasalahan klasik di negeri ini, yaitu pengangguran. Semoga PT tidak selalu melahirkan sarjana yang tidak terserap ke dunia kerja, namun harus bisa menciptakan sarjana yang siap menjawab tantangan kerja dan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Keluaran (output) yang diinginkan, setidaknya akan mengurangi jumlah pengangguran terdidik di negeri ini, ditengah ketatnya persaingan pada era globalisasi dan informasi.

Posting yang Berkaitan