Kamis, Agustus 28, 2008

Peloncoan, Gaya Kolonial Dalam Kampus

oleh : Nilam Ramadhani
Staff Pengajar di UNIRA Pamekasan Madura

Tradisi Turun Temurun
Lagi-lagi, OSPEK memakan korban! Berita dari Kapanlagi.com (25/08/2008) melaporkan, terjadi aksi tawuran antar mahasiswa baru Fakultas Ilmu Sosial (FIS) dan Teknik Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Diduga, bentrokan itu di picu oleh aksi saling ejek mahasiswa baru (Maba) pada pelaksanaan kegiatan Pembinaan Belajar Kampus (PBK), istilah lain dari Ospek atau Orientasi Mahasiswa Baru. Insiden itu menyebabkan enam mahasiswa setempat luka-luka karena terkena lemparan batu, seorang dosen dipukuli mahasiswa salah satu kubu, dan menyebabkan gedung Fakultas Ilmu Sosial rusak akibat dilempari batu. Apakah kejadian ini yang diinginkan dengan diadakannya kegiatan "tradisi turun temurun" kampus itu?
Tujuan Dibangunnya Kampus
Perguruan Tinggi atau kampus adalah lembaga pendidikan yang dibangun dalam rangka untuk melakukan kegiatan belajar mengajar dalam jenjang yang paling tinggi, sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanggung jawab lembaga pendidikan tinggi adalah, memberikan materi dan implementasi keilmuan yang positif dan bermanfaat, sehingga menjadikan pola pikir peserta didik adalah insan yang berwawasan, dan dapat memajukan tanah air. Untuk itu, perlu diterapkan sistem yang sekiranya dapat membuahkan hasil yang berorientasi pada kinerja, dan mutu pembelajaran dengan (salah satunya) melakukan kegiatan, yang disitu dapat memupuk kecintaan anak didik terhadap almamaternya dalam ruang lingkup akademis. Dengan menggiatkan kegiatan ilmiah, diharapkan kecintaan akan kampus, diarahkan ke dalam bentuk yang memang menjadi tugas dan kewajiban mereka, yaitu upaya memajukan pendidikan dan mencerdaskan bangsa.
OSPEK Tidak Selaras Dengan Tujuan Pendidikan
OSPEK atau sebut saja peloncoan, merupakan kegiatan yang justru berkebalikan dengan tujuan dibangunnya lembaga pendidikan, karena dalam praktiknya peloncoan lebih menekankan kepada kegiatan yang berbau militerisme, senioritas, arogansi, pola hamba-tuan, dan semua hal yang sebetulnya tidak relevan dengan sesuatu yang akan mereka (junior) terima nantinya pada masa-masa perkuliahan. Lihat saja persyaratan yang harus dipenuhi oleh junior ketika akan mengikuti proses peloncoan ini, misalnya : untuk pria rambut harus cepak (istilahnya 321), untuk putri dikepang dua dengan pita warna-warni di ujungnya, membuat tanda pengenal dengan ketentuan-ketentuan tertentu (bahkan harus menggunakan rumus dan perhitungan matematis) yang cenderung menyulitkan, membawa makanan dan minuman dengan takaran berbelit-belit, dan masih banyak lagi syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi oleh junior, yang sesungguhnya persyaratan itu tidak logis dan tidak terkait sama sekali. Jika ada salah satu syarat tidak dipenuhi, maka junior harus siap-siap menerima sangsi/hukuman dari senior.
Hal ini menunjukkan bahwa, junior tak ubahnya seperti boneka-boneka mainan para senior dalam praktik peloncoan. Kecenderungan upaya balas dendam terhadap junior, mereka lampiaskan dalam kegiatan “ilmiah” ini, karena para senior tahun-tahun sebelumnya juga mengalami hal yang serupa. Peloncoan tak ada bedanya dengan gaya kolonial jaman penjajahan dulu ketika menindas bangsa Indonesia. Ataukah gaya kolonial dalam kampus ini memang betul-betul mengadopsi dari pengalaman penjajah Belanda dan Jepang? Lantas kapan kampus betul-betul bisa memberikan “kemerdekaan” anak didiknya dijaman yang sudah merdeka ini? Janganlah trauma masa lalu dibawa ke kehidupan masa kini, apalagi dalam lingkungan kampus yang didalamnya kental dan erat hubungannya dengan kegiatan akademis, ilmiah, intelektual, dan memerdekakan pemikiran bangsa dari kebodohan. Karena peloncoan ini memupuk adanya tindakan anarkis, bahkan dapat berujung pada pertengkaran dan kematian. Masih segar dalam ingatan kita kasus kematian praja IPDN Cliff Muntu, yang diduga dianiaya oleh para seniornya. Atau bahkan banyak praja lain yang bernasib sama dengan Cliff Muntu, namun belum terkuak tabir pelaku dibelakangnya. Terbukti, peloncoan memupuk arogansi antar fakultas, dengan yel-yelnya, atribut, ego passing grade yang berbeda, dsb yang disitu justru memantik dan menimbulkan perpecahan dalam satu kampus. Tak heran pada masa peloncoan sering terjadi gesekan, bahkan perkelahian antar fakultas satu kampus ketika keduanya bertemu, sungguh sangat ironis!
Solusi Pengganti
Pertanyaannya, bagaimanakah memutus siklus mata rantai ini sehingga tidak terjadi lagi hal-hal yang sifatnya destruktif, dan penyuburan wajah baru kolonial dalam kampus ini? Pihak kampus tetap harus bertanggungjawab dan dapat memberi pilihan terhadap penentuan sistem pendidikan yang diterapkan pada lembaga bersangkutan. Hendaknya hal-hal yang berbau peloncoan tadi dapat diganti dan dialihkan kepada hal-hal yang sifatnya; dapat menumbuhkan kecintaan terhadap sesama dan almamater, merajut jalinan kerjasama, pendekatan terhadap dunia kampus yang mengedepankan kegiatan ilmiah/keilmuan, dan semua hal yang terkait. Orientasi semacam ini tampaknya lebih relevan dan masuk akal, mengingat akan tujuan dan arah dari pendidikan yang sebenarnya.
Maka, kegiatan peloncoan dapat diganti dengan kegiatan lain yang lebih positif seperti games atau outbond, namun tetap dalam konteks pengenalan dunia kampus. Karena hal ini lebih mendekati kepada hal yang dapat memajukan kehidupan kampus, serta lebih manusiawi, karena didalamnya tidak terdapat perilaku yang mencerminkan kampus adalah lembaga pendidikan yang “menjajah” para junior. Jika citra “angker” itu dihilangkan, maka setidaknya tidak ada trauma dan ketakutan lagi yang terus membayangi, dibalik keinginan para junior untuk mendapatkan pendidikan yang layak dalam perkuliahan/kegiatan belajar mengajar di kampus.
Disaat Indonesia kini telah berusia 63 tahun kemerdekaannya, seharusnya hal-hal/kegiatan yang masih mengadaptasi dari budaya kolonial dalam hal ini adalah peloncoan, hendaknya ditiadakan. Sebab tingkat relevansi peloncoan dengan tuntutan keilmuan yang harus dilakukan oleh anak didik sama sekali tidak ada. Lantas alasan apalagi peloncoan ini masih diterapkan? Apakah hanya sekedar ingin mempertahankan egoisme? Hendaknya masa orientasi itu diganti menjadi keinginan untuk memajukan kehidupan pendidikan kampus, dengan menunjukkan prestasi yang membanggakan bagi bangsa. Semoga pilihannya mengarah kepada kebaikan bersama...

Posting yang Berkaitan