Jumat, Desember 26, 2008

Mempertanyakan Keabsahan UU BHP

oleh : Nilam Ramadhani

Konsep Badan Hukum Milik Negara (BHMN) terhadap lembaga pendidikan yang oleh sebagian besar kalangan dinilai sudah menjurus kepada komersialisasi, sekarang telah “ganti kulit” menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pengesahan RUU BHP menjadi UU BHP pada 17 Desember 2008 silam oleh DPR, tak ubahnya menjadikan “gong” pembuka wacana pendidikan semakin mahal (baca : education for business). Dalam hal biaya masuk dan pendanaan pendidikan, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sebelumnya sudah “menganut ideologi” BHMN, telah menetapkan kisaran harga yang terlampau mahal.
Misal di UGM Yogyakarta, untuk pendidikan dokter, calon peserta didik diharuskan membayar uang masuk sebesar Rp 100 juta sampai Rp 125 juta. Sedang di UnPad Bandung, calon mahasiswa harus merogoh gocek dalam-dalam yaitu Rp 175 juta untuk Program Kedokteran, Rp 15 juta-Rp 16 juta untuk kelompok program eksakta, dan Rp 10 juta-Rp 45 juta untuk kelompok non-eksakta (Kompas.com). Uang tersebut belum termasuk uang SPP, praktikum, dan bentuk penunjang perkuliahan lainnya. Dapat disimpulkan, konsep BHMN / otonomi kampus semakin menjauhkan pendidikan terhadap rakyat jelata. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan UUD 1945 yang memberikan hak kepada semua warga Indonesia untuk mendapatkan pengajaran/pendidikan secara layak.
Lantas bagaimana dengan BHP?
Di dalam Pasal 4 ayat 1 UU BHP, disebutkan bahwa bentuk BHP didasarkan pada prinsip nirlaba. Memang dalam penjelasan pasal tersebut, pengelolaan dana dilakukan secara mandiri yang tidak mencari keuntungan, dan sisa hasil usaha akan ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan. Namun, pasal ini mengisyaratkan, nantinya pengelolaan (terutama terkait dana) PTN seperti halnya yang diterapkan pada badan-badan usaha yang berorientasi kepada keuntungan (waralaba).
Ditambah lagi pasal 49 ayat 2, bahwa BHP dapat dinyatakan pailit/bangkrut jika tidak mampu membayar hutang-hutang. Apakah lembaga pendidikan yang tugasnya adalah mencerdaskan rakyat nantinya dapat dinyatakan statusnya sebagai lembaga yang pailit?? Bukankah kepailitan hanya terjadi pada badan-badan usaha yang berorientasi bisnis yang mencari keuntungan finansial? Indikator inilah yang mengerucutkan asumsi bahwa lembaga pendidikan nantinya akan bermetamorfosis menjadi “toko pendidikan”! Kesimpulannya, pasal-pasal itu masih dalam kerancuan/tanda tanya besar!
Kecenderungan arah BHP menjadi badan waralaba nantinya, diperkuat dengan pasal 4 ayat 2(a), yaitu tentang prinsip pengelolaan secara otonomi, baik untuk kegiatan akademik dan non-akademik. Selama ini, PTN yang dikelola secara otonomi sudah menjurus kepada komersialisasi pendidikan, yang ditandai dengan semakin mahalnya “posisi tawar” yang disuguhkan kepada calon peminat (mahasiswa). Karena keleluasaan pengelolaan kegiatan itulah, PTN seperti diberi ruang gerak yang bebas dalam menentukan sendiri “aturan main” yang berlaku, terutama yang berhubungan dengan uang.
Pada pasal 34 ayat 4 tentang Pendanaan, disebutkan, peserta didik dapat ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayai. Meski pada ayat sebelumnya Pemerintah serta Pemerintah Daerah juga ikut menanggung sekurang-kurangnya dua per tiga dari biaya pendidikan. Namun hal itu tidak menjamin bahwa biaya pendidikan nantinya akan semakin murah. Karena melihat realitas yang ada sebelumnya, otonomi pengelolaan PTN (misal yang dterapkan di UI, ITB, IPB, UGM, UNAIR, dll) tidak membuat kampus terkait menurunkan biaya pendidikan secara umum. Malah sebaliknya, lepas dari pemerintah, PTN justru semakin menjauhkan diri dari pemberian pendidikan murah bagi rakyat kelas bawah.
Sedangkan mengenai bantuan beasiswa bagi peserta didik yang kurang mampu, dalam BHP memang tercantum dalam pasal 38. Pemberian beasiswa tersebut disebutkan, sebesar 20% dari total jumlah peserta didik keseluruhan. Setidaknya ada dua hal yang perlu dipertanyakan dalam pasal ini. Pertama, mengapa kisaran prosentase pemberian beasiswa hanya 20% saja? Bukankah angka tersebut masih terlalu kecil jika mengaca pada kondisi perekonomian Indonesia, yang rakyatnya masih didera dengan himpitan kemiskinan? “Niatan baik” BHP dalam pasal itu tampaknya kurang memperhatikan kehidupan nyata, yaitu tentang masih banyaknya rakyat Indonesia yang masih kesulitan mengakses pendidikan.
Kedua, meskipun PTN memberikan beasiswa, namun hal tersebut (bahkan) belum cukup menutupi prosentase kekurangan biaya dari total iuran-iuran lainnya. Secara umum, pemberian beasiswa kepada peserta didik memiliki kisaran Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta saja per semesternya. Misal pemberian dana Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) sebagai kompensasi kenaikan BBM. Dana yang mulai diberikan pada Juli 2008 lalu itu, hanya sebesar Rp 500 ribu per semester. Sedangkan menurut Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Djalal, dari perhitungan (Depdiknas), rata-rata unit cost belajar di PTN secara standar sebesar Rp 30 juta per tahun (Jawa Pos,26/07/2008). Dari data tersebut dapat diketahui, pemberian beasiswa masih jauh dari upaya meringankan beban keuangan yang harus ditanggung oleh para peserta didik.
Jika sudah begini adanya, lantas pendidikan sebenarnya untuk siapa? Yang jelas, kalau melihat data dan fakta yang ada, tidak semua orang dapat menikmati pendidikan. Yang pintar menjadi semakin pintar, yang bodoh dan miskin akan semakin tertinggal jauh dan tersingkirkan! Maka, dimana letak tanggungjawab pemerintah untuk memberikan pendidikan yang layak dan murah bagi rakyatnya? Rakyat tidak mampu selalu menjadi korbannya. Hendaknya UU BHP perlu direvisi, terutama pada poin-poin yang dapat merugikan wong cilik. Perlu kejernihan hati dalam membangun sebuah sistem pendidikan yang pro terhadap rakyat. Sudah saatnyalah pendidikan itu dapat memudahkan rakyat. Bukan dengan wajah BHMN atau BHP, tapi hanya dengan ketulusan nurani-lah pendidikan itu dapat dinikmati oleh semua kalangan. Cukup adil bukan??

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan