Jumat, Agustus 22, 2008

Merindukan Kemerdekaan Sejati

oleh : Nilam Ramadhani
Staff Pengajar di UNIRA Pamekasan Madura

Tepat 17 Agustus lalu, Indonesia genap berusia 63 tahun. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, semarak perayaan kemerdekaan berkumandang dimana-mana. Di kampung, pedesaan, dan perkotaan, masyarakat bersukacita dengan menggelar berbagai acara dalam memeriahkan kemerdekaan ini. Namun jika kita cerna lebih dalam, kemerdekaan saat ini masih sebatas kata “merdeka”. Kita belum bisa menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya. Padahal merdeka berarti setiap warga negara terbebas dari kemiskinan, pengangguran, dan keterbatasan pendidikan. Semua warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak sehingga mereka bisa terbebas dari jurang kemiskinan.
Namun, nyatanya tidaklah demikian. Berita di Kompas (5/8/2008) melaporkan bahwa hanya 17,2 persen dari 28 juta penduduk usia 19-24 tahun dan 6,2 persen dari 306.749 murid di SMP terbuka yang dapat meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, lulusan SMA meski banyak yang melanjutkan ke perguruan tinggi, ternyata lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja hanya dengan menggunakan ijasah SMA sebagai satu-satunya modal. Karena apa? Apa lagi kalau bukan karena mahalnya biaya pendidikan.
Terlebih lagi perguruan tinggi. UGM, misalnya, PTN yang dulu identik dengan kampus rakyat itu, sekarang tampaknya sudah tidak merakyat lagi. Dalam komponen biaya pendidikan, untuk sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) di UGM memang hanya Rp 500.000 per semester, dan biaya operasional pendidikan (BOP) Rp 75.000/SKS/semester untuk eksakta, dan Rp 60.000/SKS/semester untuk non-eksakta. Namun, masih ada biaya sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA) yang besarnya bervariasi. Untuk peserta ujian tulis, penelusuran bakat olahraga dan seni (PBOS), penelusuran bibit unggul berprestasi (PBUB) mandiri, dan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB), diminta mengisi tiga pilihan SPMA berdasar kemampuan ekonomi. Terdengar demokratis, meski secara psikologis calon siswa akan terprovokasi memilih harga yang mahal, karena dikira bisa meningkatkan "posisi tawar" untuk masuk UGM. Di UGM setiap jurusan memiliki "harga" SPMA berbeda. Nilai SPMA termurah Rp 5 juta dan paling mahal di atas Rp 20 juta. Sayangnya, jalur SPMB yang tergolong pilihan murah, pada 2008 ini hanya menerima maksimal 18 persen dari daya tampung. Khusus untuk PBUB dan penelusuran bakat swadana (PBS), harga SPMA di UGM lebih mahal, termurah Program studi Filsafat dengan Rp 10 juta untuk PBS dan Rp 15 juta bagi PBUB. Untuk pendidikan dokter? Rp 100 juta untuk PBS dan Rp 125 juta untuk PBUB (Kompas.com).
Dari fakta yang ada diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa kemerdekaan belumlah sampai pada titik puncaknya. Kemerdekaan belum menyentuh rakyat jelata, kemerdekaan masih pilih kasih, kemerdekaan kurang mempedulikan nasib pendidikan kaum bawah. Betapa tidak, salah satu tolak ukur penting untuk memajukan rakyat, yaitu sektor pendidikan, sudah melenceng arah dan tujuannya.
Artinya, “kemerdekaan” yang selama ini kita lalui, hanyalah sebuah bentuk spontanitas seluruh elemen bangsa, yang berbeda suku dan budaya. Kemerdekaan yang diberikan kepada rakyat kecil hanyalah janji-janji kosong belaka. Segala bentuk euphoria masyarakat dalam menyambut HUT-RI tiap tahunnya, seolah menjadi pelarian (eskapisme) dari kondisi tanah air yang semakin carut-marut dan memilukan. Kemerdekaan dimaknai hanya sebatas refleksi simbolistik. Kemerdekaan diartikan sebagai lomba panjat pinang, gerak jalan, pawai karnaval, dll. Kemerdekaan belum sampai pada taraf realisasi multi-tataran. Spontanitas dan refleksi ini tentunya tidak mengesampingkan rasa nasionalisme dan ke-bhinneka tunggal ika-an bangsa. Karena bagaimanapun, tidak kita pungkiri, memupuk rasa kebangsaan tiap warga Negara Indonesia dalam menjalin soliditas dan persatuan, adalah tahapan proses yang perlu dijaga dan dilestarikan. Hal itu terkait dengan warisan jiwa patriotisme para pejuang perintis kemerdekaan.
Meski demikian rasa kebangsaan dan patriotisme akan tertanam kuat dalam jiwa semua warga negara jika negeri ini betul-betul merdeka. Dalam artian, tidak ada lagi ketimpangan yang membedakan antara si kaya dan si miskin. Karena menurut UUD, tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak serta mendapat pengajaran. Namun, apakah kenyataan berbicara demikian.? Dengan masih suburnya ketimpangan pendidikan, warga Negara (baca : rakyat kecil) tampaknya tidak dapat berharap banyak untuk bisa menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan (baca : ketamakan) hanya dapat dirasakan bagi kalangan yang memegang jabatan strategis, memiliki kewenangan dalam pemberian kebijakan, serta para orang-orang berdasi yang konon katanya penyampai aspirasi dan amanat rakyat itu.
Kemerdekaan itu berarti, tidak ada lagi bentuk penjajahan pada semua sisi kehidupan. Belenggu yang membodohi, penyalahgunaan kewenangan, dan segala bentuk penindasan, merupakan hal yang semestinya tidak terjadi jika bangsa ini dikatakan sudah merdeka. Malah yang ada, penjajahan modern tanah air saat ini telah memiliki wajah baru, dengan berkedok (salah satunya) : kapitalisme. Dengan begitu, hanya orang-orang berduitlah yang bisa merasakan “nikmatnya kemerdekaan” ini dan menggunakan segala fasilitas kelas atas. Lantas bagaimana bagi rakyat kecil? Mereka seakan jadi tumbal dari dampak kolonialisme wajah baru ini.
Kemerdekaan dapat terwujud jika ada sebuah bentuk kompleksitas dari seluruh kehidupan dan komponen bangsa yang konstruktif. Untuk itu, diperlukan ketergantungan dan integritas antar individu dan kolektif untuk sama-sama mengisi kehidupan. Dengan begitu, untuk mewujudkan kemerdekaan yang sejati, dibutuhkan upaya yang konsisten dari seluruh elemen bangsa, yaitu melakukan perubahan dan mengisi pembangunan dalam rangka memakmurkan dan menyejahterakan rakyat dan penegakan hak-hak kemanusiaan. Visi Bangsa tidak akan terwujud, jika perilaku dan kejadian yang menunjukkan masih suburnya penjajahan bentuk baru itu, tetap tumbuh bahkan mendarah daging. Dirgahayu Indonesiaku, MERDEKA!!!

Posting yang Berkaitan