Senin, Oktober 06, 2008

Mengikis Techno Phobia dan Ironi Pendidikan

oleh : Nilam Ramadhani *)

Kata “teknologi”, akhir-akhir ini sering kita dengar akrab di telinga. Secara terminologi, di dalam kamus teknologi berarti, ilmu pengetahuan terapan, cara, metode atau teknik dan proses-proses. Jadi kesimpulannya, teknologi merupakan metode berdasarkan ilmu pengetahuan/sains yang ditempuh oleh manusia dalam memecahkan suatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Karena disadari atau tidak, saat ini peran dari teknologi sangat penting, mengingat tuntutan jaman yang menginginkan segala sesuatunya dapat terlaksana secara cepat, mudah, efektif (tepat guna) namun efisien (hemat). Atas dasar itulah, ketergantungan kita akan teknologi akan terus berlanjut sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia kedepannya.
Namun meskipun peran teknologi sangat sentral saat ini,kebanyakan dari kita masih merasa asing dan “takut” untuk berhubungan dengan teknologi itu sendiri. Alasannya pun cukup sepele, yaitu anggapan bahwa teknologi hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu saja. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya istilah “Gaptek” (Gagap Teknologi). Lantas mengapa sebagian besar dari kita mengalami syndrom gaptek ini? Hal itu dikarenakan, pendidikan (baca : sekolah) sejak dini tidak membiasakan anak didiknya untuk “berkenalan” dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan modernisasinya. IPTEK tidak harus selalu berhubungan dengan produk jadi, seperti perangkat elektronik dan piranti yang sejenis. Namun yang lebih penting adalah, meletakkan dasar-dasar dan konsep dari teknologi itu sendiri.
Jika pembekalan konsep akan sebuah teknologi diberikan sejak dini di sekolah, maka “penyakit” gaptek ini tidak akan berlama-lama hinggap pada diri kita. Sebagai perbandingan, lihat saja perilaku anak-anak TK di Jepang. Pada seusia mereka, robot sudah menjadi “santapan” sehari-hari. Jadi tak heran, Jepang merupakan salah satu macan asia meskipun pada tahun 1945, dua kota penting yaitu Nagasaki dan Hiroshima dibom nuklir oleh tentara Sekutu dan meluluhlantahkan semua yang bertengger di atasnya. Tapi bagaimana dengan pendidikan di negara kita? Tampaknya pengenalan akan teknologi seperti barang langka, ditengah pesatnya perkembangan dunia teknologi informasi.
Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan semua pihak terkait. Karena permasalahan ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah serta sistem pendidikan yang diberikan di sekolah. Rencana pemerintah untuk memberikan kucuran dana APBN 2009 sebesar 20%, diharapkan nantinya dapat memperbaiki kinerja pada sektor/pos yang dirasa belum maksimal dan perlu penanganan secara serius. Jadi kelak tidak akan ditemui lagi kejadian memprihatinkan yang berhubungan dengan sekolah. Misal berita dari koran Surya, Minggu(27/07/2008), ditulis di SDN Kepulungan 2 Gempol, Kabupaten Pasuruan, sebanyak 23 siswa kelas 2 yang diajar Sri Subakti terpaksa belajar di sebuah ruangan berukuran 4,8 x 5 meter bekas gang pembatas yang menghubungkan Balai Desa Kepulungan dengan SDN Kepulungan 2. Karena tidak ada bangku, mereka harus belajar lesehan di atas lantai beralaskan karpet. Mereka membawa meja kecil sendiri bergambar tokoh kartun, bahkan ada yang belajar tanpa meja dan menumpang meja teman. Kejadian ini bisa jadi merupakan representasi dari kondisi sekolah-sekolah yang ada pada pelosok-pelosok desa di tanah air, yang tidak terangkat ke media massa.
Apakah kondisi sekolah seperti ini sanggup untuk memberikan pengenalan teknologi sejak dini pada peserta didiknya (baca : siswa) ? Upaya untuk mengikis habis techno phobia sejak dini sangat tidak selaras dengan kondisi sekolah yang memprihatinkan. Tentu saja hal itu sangat menghambat proses belajar mengajar di sekolah, dan semakin membuat bangsa kita ketinggalan jauh dibelakang akan perkembangan dunia teknologi. Karena tempat cikal bakal diperkenalkannya konsep teknologi, yakni sekolah, sudah tidak menunjang lagi. Lantas harus kemana peserta didik akan menggali ilmu pengetahuan jika sudah tidak ada lagi tempat yang kondusif?
Jika kita melihat lagi kebelakang, dimana teknologi mengalami sebuah percepatan/akselerasi, seperti Revolusi Industri yang terjadi di Inggris, yang diawali oleh sederetan penemuan yang merupakan awal dari peradaban modern. Misal penemuan yang dilakukan oleh Abraham Darby (seorang insinyur berkebangsaan Inggris), yang berhasil menggunakan batu bara (coke) untuk melelehkan besi, dan mendapatkan nilai besi yang lebih sempurna. Juga penemuan mesin uap oleh James Watt (insinyur berkebangsaan Skotlandia) pada tahun 1763. Dengan berbagai macam penemuan tersebut, dapat membawa Inggris mengalami sebuah revolusi industri pada abad 17. Hal ini tentunya mengubah peradaban manusia kala itu hingga kini.
Untuk itulah, perlu adanya kesungguhan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di tanah air. Dibutuhkan sebuah langkah fundamental untuk merakit seperangkat konsep yang nantinya dapat menunjang kemandirian teknologi ini. Maka keselarasan antara Gnosis (pengetahuan) serta Praxis (terapan) mutlak harus dilakukan oleh sejumlah pihak terkait dalam mengejawantahkan konsep diatas. Langkah itu setidaknya untuk mencetak generasi bangsa yang melek akan IPTEK, dan -salah satunya metode pembelajaran itu diterapkan dalam sekolah-sekolah serta perguruan tinggi.
Karena menurut Ernest R. Hilgard dalam Theories of Learning, pembelajaran diartikan sebagai proses serta aktivitas-aktivitas yang memberi perubahan melalui prosedur pelatihan dalam ruang lingkup laboratorium dan lingkungan alami (natural environment) sebagai sarana pengenal. Sehingga bermula dari ketidaktahuan, seorang anak didik harus dikenalkan -melalui interaksi dengan teknologi dalam sebuah kondisi nyata (real time). Dengan menjadikan anak didik sebagai subjek aktif, pemberian fasilitas yang memadai, serta menerapkan sistem pembelajaran yang efektif, maka segala bentuk hal yang dapat mengucilkan bangsa kita terhadap teknologi, dapat serta merta dikikis habis. Semoga saja...

*) penulis adalah staff pengajar di UNIRA Pamekasan Madura
Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan