Senin, Oktober 06, 2008

Belajar Mencintai Almamater Sendiri Dalam Bingkai Akademis

oleh : Nilam Ramadhani *)

Sebuah institusi atau lembaga pastinya memiliki elemen-elemen yang saling mendukung satu dengan yang lainnya, sehingga eksistensi/keberlangsungan lembaga itu dapat bertahan lama. Untuk itu, diperlukan suatu bentuk kerjasama dan jalinan komunikasi dua arah dalam kesehariannya, supaya berbagai problematika yang jadi batu sandungan dapat teratasi secara bijak dan solutif. Tak terkecuali pula pada sebuah lembaga pendidikan. Berbagai permasalahan pelik yang terjadi terkait proses pembelajaran, pemberian kebijakan, sarana-sarana yang perlu pencanangan dan realisasinya secara cepat, dan lainnya adalah tugas berat yang harus dipikul bersama demi kebaikan, kemajuan, dan keberlangsungan lembaga pendidikan itu.
Namun jika melihat pada fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada lingkungan kampus, yang belakangan ini marak di tanah air, seperti mahasiswa merusak kampusnya sendiri, melempari dengan batu, bentrok dengan aparat kampus, bahkan sesama mahasiswa bentrok antara yang pro dan kontra akan sebuah kebijakan yang dirilis oleh pihak rektorat, justru akan menambah keprihatinan masyarakat. Intinya mereka (mahasiswa) bertindak anarkis tanpa terlebih dahulu dilakukan proses dialogis yang berkelanjutan dan damai. Kesimpulannya adalah, mereka menafsirkan dari sisi yang lain (sisi abu-abu) dari sebuah bentuk kecintaan terhadap almamater sendiri. Penafsiran yang tanpa didasari akal hati inilah yang menimbulkan reaksi yang berlebihan, bahkan bersifat provokatif dan destruktif. Akhirnya, dampak yang terasa adalah kerugian berupa materi dan imateri dari semua elemen / civitas akademika dari lembaga pendidikan terkait. Bahkan keprihatinan dan “bunga belasungkawa” ini banyak ditabur oleh seluruh masyarakat yang menyesalkan tindakan “cinta almamater” yang dilakukan oleh pribadi yang didalamnya melekat atribut : intelektual dan pro rakyat itu!
Jika melihat akar permasalahannya, maka aspek penyebabnya sangatlah luas dan kompleks, karena memang latar belakang elemen-elemen kampus itu heterogen dan unik. Tapi jika melihat dari sisi yang sederhana, yaitu memperkecil skala sorotan pada ruang lingkup kampus, maka akan dapat ditarik benang merahnya, yaitu sikap kurangnya rasa memiliki dan mencintai almamater sendiri. Pemicu penyebab mereka memiliki pola pikir demikian pun sangat beragam, diantaranya : birokrasi kampus yang tidak transparan, kebijakan yang memberatkan mahasiswa, perasaan menuntut yang berlebihan, gengsi/malu karena almamater tidak bonafit, dan masih banyak lagi alasan yang dapat memicu terjadinya sikap kurang mencintai dan menghargai almamater sendiri itu.
Kalau saja semua elemen kampus itu mengetahui dan memaknai peran dan statusnya masing-masing dalam sebuah kelembagaan, maka hampir dapat dipastikan semua aktivitas institusi berjalan pada track yang dikehendaki. Kecenderungan sikap/perilaku tidak menghargai institusi inilah yang merupakan cikal bakal persoalan yang akan muncul di kemudian hari, seiring menumpuknya segala persoalan sebelumnya yang belum terpecahkan.
Sebuah studi kasus yang terjadi sekitar pada tahun 2000 di salah satu PTN di Jatim pada penerimaan mahasiswa baru tahun itu, ada sekitar tigapuluhan calon mahasiswa yang secara ekonomi kurang mampu tapi berpotensi, tidak dapat melakukan daftar ulang karena disitu dimintai “uang tambahan” dengan dalih dana untuk pengembangan pendidikan. Dari sekitar sembilan fakultas terdapat enam yang kontra dan tiga yang pro akan kebijakan pihak rektorat tersebut. Tentu saja hal tersebut memicu reaksi keras rekan mahasiswa yang lain yang kontra supaya secepatnya menghapus kebijakan yang hanya dapat dilakukan oleh mahasiswa anak orang-orang kaya saja itu. Bahkan hampir saja kebijakan tersebut memicu adanya tindakan anarkis dari mahasiswa, namun untungnya setelah proses negosiasi yang alot kebijakan tersebut akhirnya dapat “diperlunak”.
Mencintai dan menghargai almamater sendiri, tidak hanya harus dilakukan oleh mahasiswa sebagai nara didik, namun juga harus dilakukan juga utamanya oleh pihak pengelola kampus. Karena dua unsur inilah yang merupakan dua kutub terbesar yang ada di lingkungan kampus. Jadi tidak ada kata lain selain keduanya harus menjadi tonggak / kuda-kuda berdirinya sebuah sistem yang sehat, bernurani, progesif dari sebuah lembaga pendidikan. Kalau didalam sebuah institusi ini terdapat polarisasi, lantas dapatkah kelembagaan itu melangkah menuju sebuah perubahan yang berarti? Seluruh elemen harus saling mendukung guna terbentuknya tatanan yang berpihak kepada kebaikan dan kemajuan bersama. Maka diperlukan sebuah upaya dan bentuk kesadaran diri untuk menumbuhkan kecintaan terhadap almamater ini. Menurut Paulo Freire, diperlukan kesadaran kritis transitif, yaitu kesadaran yang ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah dan berdialog. Hingga taraf yang diinginkan adalah mampu merefleksikan dan melihat hubungan sebab akibat.
Bagi pengelola kampus, menumbuhkan rasa cinta almamter sendiri bisa dimulai dengan meningkatkan service / layanan yang memuaskan kepada anak didiknya dan masyarakat luas umumnya dalam bingkai pelayanan yang sifatnya akademis karena memang dalam platform akademis, menerima saran dan kritikan secara proporsional dan bijak selama saran dan kritikan itu membangun dan demi kebaikan bersama, mengikis otoriterisme dan transparansi dalam penentuan dan pemberian kebijakan kepada anak didik sehingga semuanya bisa diketahui secara gamblang dan berimbang.
Untuk mahasiswa/anak didik, menumbuhkan rasa kecintaan dan memiliki almamater sendiri bisa dimulai dari pemberian orientasi yang disitu ditekankan akan tujuan vital dibentuknya sebuah lembaga pendidikan. Dengan begitu hakikat pendidikan akan lebih jelas arahnya. Hal lainnya adalah, mulai menunjukkan prestasi dan kreativitas pada masa-masa kuliah dan pasca-kuliah, hal ini akan memotivasi untuk selalu memajukan dan meningkatkan citra kampus dimata masyarakat, sehingga terjadi proses kecintaan yang bermula dari kegiatan-kegiatan akademis. Tak lupa, turut menjaga dan melindungi semua fasilitas kampus agar keberlangsungannya dapat bertahan lama dan bisa dinikmati juga oleh generasi yang akan datang. Dan masih banyak lagi hal yang bisa dilakukan oleh kedua belah pihak dalam rangka merajut benang-benang kecintaan terhadap almamater sendiri yang terfokus pada bidang akademis, selama hal itu positif dan dirasakan bersama manfaatnya.
Harapannya adalah, jika beberapa saran dan masukan diatas diterapkan, tidak terjadi (lagi) pembelokan makna dari mencintai almamater sendiri, sehingga semua permasalahan dapat diatasi. Dan yang terpenting, seluruh kegiatan civitas akademika berjalan lancar sesuai prosedur. Bahkan hasil positifnya bisa diatas ekspektasi sehingga kehidupan kampus menjadi maju dan damai. Bukankah maju dan damai itu indah…??

*)penulis adalah mantan mahasiswa
Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan