Minggu, Oktober 05, 2008

Merindukan Pemimpin yang Lahir Untuk Rakyat di Pilpres 2009

oleh : Nilam Ramadhani

Bagi sosok Fadjroel Rahman, Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dianggap penghalang bagi warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden dari jalur independen. Atas dasar itu, UU No. 23/2003 perlu di-ujimateril-kan (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Padahal RUU Pilpres yang akan dijadikan dasar hukum penyelenggaraan Pilpres 2009 kini belum tuntas dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam dialog pada sebuah acara The Candidate di Metro TV, Fadjroel mengatakan bahwa dirinya tidak akan pernah bergabung dengan parpol. Pernyataan itu menyiratkan optimisme betapa capres independen juga sanggup bersaing di Pemilu 2009 di tengah ketidakpercayaan publik terhadap parpol. Adanya krisis kepercayaan ini memang bukan sekedar isapan jempol. Untuk Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim 23 Juli 2008 lalu, terdapat 38,37 persen suara atau 11.152.406 pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput. Sementara total pemilih untuk Pilgub Jatim sebanyak 29.061.718 penduduk (JakartaPress.com,01/08/2008).
Pada Pemilu 2004 lalu ada sekitar 40 juta penduduk yang golput. Fadjroel memprediksi, untuk Pilpres 2009 ada kenaikan angka pemilih golput menjadi 60 juta suara. Jika calon alternatif maju, akan sangat mungkin suara golput itu merapat ke capres independen. Banyaknya suara golput menunjukkan bahwa publik di Indonesia saat ini cenderung antipati dan tidak pro parpol lagi. Bisa saja hal ini disebabkan karena adanya “pengkhianatan” elit parpol terhadap janji-janji manis yang akan di berikan kepada massa pendukungnya.
Ketika wacana “pemimpin kaum muda” digulirkan, seperti sebuah tren yang akan di launching, perdebatan pun merebak dimana-mana. Menurut Presiden PKS Tifatul Sembiring, pemimpin muda itu usianya antara 40-55 tahun. Ia pun juga meminta tokoh yang berumur lebih dari 50 tahun untuk minggir dari pertarungan memperebutkan kursi RI-1. Tentu saja wacana tersebut senada dengan Fadjroel Rahman. Pemimpin muda, menurut Fadjroel, umumnya mengusung ide progresif. Sedangkan golongan tua biasanya cenderung konservatif, kebijakannya tidak ada yang baru (kilasberita.com).
Yang muda menganggap yang tua sudah tidak menasionalisasi lagi. Paradigma kaum tua sudah selayaknya merunut pada agenda reformasi. Namun setelah reformasi berjalan, agenda tinggallah agenda. Jadi perubahan secara radikal pada tataran birokrasi politik harus betul-betul mengacu kepada UUD 1945, terutama masalah nasionalisasi aset bangsa, kejahatan HAM, dan pemberantasan korupsi. Selain itu, perlu adanya “pembersihan” elit yang masih mendapat “didikan” era Orba. Karena kaum muda menganggap hal itu seperti sebuah regenerasi terselubung dan halus, jadi perlu upaya memutus mata rantai elit politik lawas.
Yang tua pun tidak mau kalah, mereka menganggap kaum muda belum berpengalaman. Mereka menantang secara fair kaum muda di ajang Pemilu 2009. Karena tentu saja, meminta mundur dari pertarungan Pemilu 2009 adalah sebuah hal yang sangat konyol bagi kaum tua. Sebagian lagi berpendapat dan meminta agar syarat mengajukan pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2009 menggunakan ketentuan lama yang diatur dalam UU No 23/2003 tentang Pilpres. Dalam UU Pilpres No 23/2003, disebutkan bahwa pasangan capres-cawapres diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 15% kursi DPR atau 20% suara sah yang diperoleh dalam pemilu legislatif.
Kembali melihat tren golput di masyarakat, hal itu menunjukkan bahwa parpol harus melakukan pembenahan, terutama masalah pengkaderan dan pembangunan kepercayaan terhadap massanya. Selain itu, dengan begitu banyaknya parpol yang ikut di ajang Pemilu 2009 (sekitar 34 peserta), hal ini cukup membingungkan bagi pemilih, terutama masyarakat awam. Rakyat kecil tidak terlalu butuh dengan puluhan parpol yang ikut serta dalam Pemilu 2009. Yang mereka inginkan sebetulnya cukup sederhana, yakni : tidak mengantri lagi pada saat membeli mitan, harga sembako tidak merangkak naik, biaya pendidikan terjangkau, dan seterusnya.
Memang Indonesia saat ini sedang merindukan seorang pemimpin yang sanggup melakukan perubahan dan memberi jaminan kesejahteraan bagi rakyatnya. Rakyat kecil tampaknya sudah bosan dengan segala permasalahan klasik yang kerap menjejali mereka. Budaya antri, kelaparan, terpinggirkan, korban korupsi, seperti hal yang sudah biasa mereka dapati. Permasalahan ini harus dapat membuka mata dan hati pemimpin masa depan untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.
Rakyat awam pun tidak terlalu pusing memikirkan wacana pemimpin kaum muda atau kaum tua. Ketika para birokrat tingkat atas saat ini sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan “kendaraan politik” mereka untuk Pilpres 2009, jangan sampai hal ini membuat lupa akan tanggung jawab sebelumnya. Kampanye dan sosialisasi bagi parpol memang perlu, namun yang lebih penting adalah mengedepankan rakyat, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari mereka. Jangan lagi ada kejadian minyak tanah langka setelah dikonversi ke gas LPG, harga sembako yang melejit naik, pelayanan publik yang belum maksimal, dan sebagainya.
Semoga saja di Pilpres 2009 melahirkan sosok yang betul-betul peduli dengan rakyat. Pemimpin yang tidak hanya bisa mengumbar janji, tapi sanggup menyuguhkan bukti. Bagaimanapun, pemimpin adalah pelayan rakyat yang sanggup memenuhi apa-apa yang menjadi keluhan dan keinginan majikannya (rakyat). Tanggung jawab yang besar itu tidak boleh di salahgunakan. Oleh karena itu, pemimpin idaman rakyat adalah sosok yang memiliki sifat jujur, amanah, peduli, dan sanggup memberi perubahan menuju kesejahteraan serta keamanan di negeri tercinta ini. Sukses untuk Pilpres 2009!!

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan