Selasa, September 02, 2008

Menafsirkan Pendidikan Yang Membebaskan

oleh : Nilam Ramadhani
Staff Pengajar UNIRA Pamekasan Madura

Polemik yang mewarnai dunia pendidikan kita saat ini, tidak terlepas dari berbagai permasalahan. Krisis itu sungguh sangat beragam, diantaranya, mutu pendidikan (baca:sekolah) yang rendah, sistem pembelajaran yang belum mampu 100% memberi jalan kepada lulusan keluar dari belenggu pengangguran, mahalnya biaya pendidikan, kurikulum yang masih memiliki paradigma mendikte, dll. Seolah, semua permasalahan diatas terikat dan terharuskan kepada sebuah aturan yang membatasi ruang gerak, daya imajinasi, hasrat untuk bisa dan maju bagi peserta didiknya (baca: murid). Bolehkah kita menafsirkan, semua itu akan mengebiri kebebasan berapresiasi? Lantas seperti apa “kebebasan” yang seharusnya?
Paradigma yang Ditawarkan
Untuk keluar dari permasalahan kompleks diatas, banyak para pakar pendidikan menawarkan sebuah solusi bagaimana seharusnya pendidikan modern diterapkan. Di dalam buku kumpulan tulisan dan opini dari tokoh pendidikan “Menggagas Paradigma Baru Pendidikan” dengan editor Sindhunata, disebutkan sebuah wacana tentang paradigma pendidikan. Paradigma lama menyatakan bahwa : “Pendidikan adalah tanggung jawab sekolah dan para pengelola institusi pendidikan. Lepas tanggung jawab semacam ini akhirnya membuat pendidikan kita remuk dan tak mempunyai masa depan”. Sedang paradigma baru menyebutkan : “Pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat, dan anggota masyarakat bersama-sama memikul tanggung jawab pendidikan anak-anaknya”.
Sedangkan Paulo Freire berpandangan bahwa, praktik ajar-mengajar dinilai sudah cenderung menjadi komoditas kapitalistik, dan menjadi suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan akan tuntutan dari masyarakat semu produk sistem kapitalis. Hal ini terbukti dari semakin mahalnya biaya sekolah dan perguruan tinggi dewasa ini. Atas dasar itulah, Freire menyatakan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan dan memanusiakan. Sehingga, pendidikan semestinya diberikan kepada kaum tertindas (rakyat kecil) tanpa membuat perbedaan pelayanan dan perlakuan yang berseberangan. Jika pembebasan itu sudah tercapai, pendidikan akan menjadi sebuah kampanye dialogis sebagai bentuk upaya untuk memanusiakan manusia secara berkelanjutan. Karena pada dasarnya, pendidikan bukanlah sekedar untuk menuntut ilmu semata, namun lebih kepada saling bertukar pikiran dan menjalankan hak manusiawi bagi semua orang tanpa terkecuali. Masih menurut Freire, titik awal semua perihal diatas, dimulai dari sebuah kesadaran dan kebersamaan. Karena pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan, merupakan sebentuk upaya sadar pihak yang berkompeten di bidangnya (sekolah), serta menerapkan nilai-nilai kebersamaan (human being).
Seorang Guru Besar Tetap pada Universitas Negeri Jakarta, Diana Nomida Musnir, menyatakan gagasan tentang konsep pendidikan masa depan. Hal tersebut terkait, semakin runyamnya masalah pendidikan yang ada. Maka, penerapan sistem pendidikan memerlukan landasan atau pijakan berpikir yang ilmiah. Menurut beliau, perancangan dan penerapan kurikulum perlu dilakukan pendekatan futuristic-fundamental-scientific. Prinsip futuristic akan mengarahkan kepada kondisi masa depan bangsa, fundamental akan menjamin agar tidak selalu berubah karena hal-hal yang tidak mendasar, dan scientific akan menjamin akuntabilitas dan akseptabilitas program karena aspek scientific menjamin adanya objektivitas dari kenyataan dan kebenaran yang ditelaahnya. Belum lagi teori pendidikan Islam, yang bertujuan untuk mendidik anak menjadi manusia yang sempurna baik intelektual, emosional dan spiritual agar hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Terlepas dari perkara “paradigma” diatas, semua pihak seharusnya berani mengambil sikap tegas. Yaitu tindakan yang merujuk kepada terbentuknya sebuah sistem pendidikan berhati nurani. Didalamnya harus mengganti praktik-praktik yang terbukti tidak efektif serta tidak relevan jika dilaksanakan pada kehidupan saat ini. Pertimbangan itu dimaksudkan agar menjadikan pendidikan sebagai sarana yang benar-benar untuk kepedulian akan kemajuan masyarakat. “Kebebasan” inilah yang mesti diutamakan oleh lembaga pendidikan, karena mau sampai kapankah kita akan terus berkutat pada permasalahan-permasalahan yang sama?
Masyarakat Dinamis dan Sekolah
Tidak bisa kita elak, bahwa setiap saat pasti terjadi perubahan di masyarakat. Hal ini menunjukkan, betapa dinamisnya sebuah kumpulan massa yang bersinggungan dengan budaya, dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Untuk itulah, solusi masalah pendidikan harus mengacu kepada kebutuhan manusia, kesulitan-kesulitan, serta proses-proses sosial dengan bertujuan untuk memperbaiki kehidupan didalam masyarakat (E.G. Olsen, School and Community). Atas dasar itu, sekolah seharusnya menjadi tempat untuk memperbaiki mutu kehidupan di saat ini dan mendatang. Karena dengan interaksi yang dilakukan, akan mengubah seseorang menjadi lebih baik pola pikirnya, perilaku sosialnya, serta dapat mengarahkan semua hal (secara umum) menuju perubahan perbaikan.
Acuan untuk itu semua, tentunya harus menggunakan masyarakat sebagai media atau “bahan ajarnya”. Karena dengan memperbanyak berhubungan/interaksi secara sosial, akan memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik dan terjalin komunikasi timbal balik. Hal ini akan lebih membuka diri akan realitas dari permasalahan dan keinginan yang ada di masyarakat. Tentunya tanpa mengesampingkan peranan buku-buku dan bahan bacaan penunjang yang sejenis.
Memang tidak ada acuan baku ideal yang serta merta dapat mengeluarkan kita dari kubangan masalah. Namun yang lebih penting, bagaimana seharusnya sikap yang mesti ditempuh untuk dapat keluar dari kesulitan-kesulitan itu. Karena kalau kita mau jujur, permasalahan pendidikan di negeri ini semakin hari semakin parah saja. Lantas sampai kapan kita hanya bisa menonton dan meratapi keprihatinan itu tanpa memulai sebuah tindakan nyata? Gagasan, konsep, serta paradigma yang ditawarkan akan seperti angin lalu, jika tidak dimulai dengan sebuah kesungguhan dan perbuatan untuk betul-betul menjadikan pendidikan (sekolah) sebagai tempat yang “membebaskan”. Bagaimana menurut Anda?

Posting yang Berkaitan