Jumat, September 05, 2008

Quo Vadis Mutu Pendidikan Kita?

oleh : Nilam Ramadhani
Staff Pengajar di UNIRA Pamekasan Madura

Pendidikan sudah mulai kehilangan elan vitalnya sebagai sarana untuk memanusiakan manusia (human being). Pendidikan dimaknai tak lebih sebagai komoditi terlebih dahulu, bukan sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa. Hal ini yang biasa dikenal dengan istilah : education for business (baca : pendidikan sebagai barang dagangan).
Indikasinya adalah dengan menaikkan uang SPP, dana pembangunan yang besar (bahkan bisa dinego), serta iuran-iuran lainnya. Bagi orang yang berduit sih hal itu tidak jadi masalah, ada uang “barang dagangan” didapat! Tapi bagaimana bagi rakyat kecil yang kehidupan ekonominya pas-pasan yang secara UUD justru menjadi perhatian negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak ?
Parahnya lagi, besarnya iuran tidak sebanding dengan pemberian fasilitas belajar bagi anak didik (tidak ada peningkatan mutu pelayanan!). Tak ayal bagi anak didik yang tanggap-saya ambil contoh mahasiswa, mereka protes dan berdemo ke pengelola kampus (rektorat) agar fasilitas betul-betul disesuaikan dengan besarnya uang iuran. Para orangtua pun sebagai penyedia modal sekolah anaknya banyak yang menyayangkan akan hal itu.
Lembaga penyelenggara pendidikan tak mampu berpikir secara realistis dalam hal pengelolaan Sumber Daya yang ada, baik itu fasilitas penunjang yang disediakan, dana yang terkumpul baik dari iuran siswa/mahasiswa dan bantuan, serta potensi anak didik yang beragam.
Contoh diatas bukanlah upaya untuk mendiskreditkan beberapa lembaga penyelenggara pendidikan, namun lebih pada sebuah contoh lemahnya inisiatif (baca: tidak bersungguh-sungguh) untuk melihat visi pendidikan yang sebenarnya. Mau sampai kapan hal itu akan berlangsung? Rakyat kecil juga butuh yang namanya pendidikan murah bahkan gratis. Ingat, indikasi kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikan warga negaranya! Bisa kita bayangkan kalau yang mendapatkan pendidikan hanya orang kaya saja, maka pemerataan pendidikan pasti tidak akan terjadi.
Karena itu lembaga pendidikan, stakeholder dan pemerintah harus mengambil inisiatif untuk mengakhiri disparitas antara si kaya dan si miskin dalam dunia pendidikan. Tayangan di televisi tentang banyaknya sekolah yang bangunan fisiknya sudah hampir roboh (bahkan ada yang roboh dan merenggut nyawa siswanya), tentunya hal ini dijadikan sebagai trigger / pemicu bagi pemerintah untuk segera melakukan pembenahan dan rehabilitasi bangunan sekolah, terutama di daerah-daerah pelosok.
Untuk lembaga pendidikan swasta juga harus mengedepankan pelayanan, namun memang harus realistis pula dalam pencapaiannya, termasuk kesejahteraan pengelola lembaga, ingat pepatah : “Sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit, asalkan berkah”.
Pembenahan bisa dimulai dari sekolah/lembaga pendidikan yang secara umum masih dibawah standar dalam hal pelayanan pendidikannya, seperti sarana gedung, perpustakaan, tenaga pengajar, dll. Dari minimnya fasilitas maka diperlukan adanya inisiatif untuk beranjak menuju ke sebuah kemandirian pendidikan yang tidak melulu bergantung kepada iuran / tarikan dari anak didik, bahkan bantuan dari pemerintah. Memang semuanya membutuhkan kesabaran dan dukungan dari semua pihak, yang keseluruhan saling menopang.
Salah satu contoh inisiatif itu dalam hal peningkatan mutu adalah dengan memiliki standar penilaian hasil ujian yang betul-betul diawasi dan terjaga, jangan karena ada “pelicin” semuanya bisa lancar! Jadi semua harus dilakukan secara fair! Setelah inisiatif dilaksanakan dengan dengan baik, maka perlu adanya sebuah kemandirian hingga nanti kedepan lembaga tidak bergantung lagi ke pihak-pihak lain untuk meminta bantuan terutama dalam hal pendanaan pendidikan.
Memang semuanya harus dimulai dari membangun sebuah kerjasama dengan pihak yang juga concern dalam bidang yang sama, dalam hal ini pendidikan. Dengan membentuk jaringan kerja / networks dengan pihak yang “seiman”, akan dapat dipastikan kemandirian akan bisa dicapai dengan sedikit kerja keras. Kemandirian disini termasuk penggalangan dana / finansial, pengelolaan Sumber Daya (resource) yang berbasis teknologi, dan kontrol manajemennya.
Dengan adanya dua hal diatas, yaitu inisiatif dan kemandirian, diharapkan dapat menjadi benih yang dapat berbuah manis dan dipetik untuk dinikmati bersama oleh semua kalangan, terutama bagi sebagian besar rakyat yang hidup kurang mampu namun memiliki keinginan untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi. Karena hanya dengan pendidikanlah ( ilmu yang bermanfaat ) sebuah bangsa akan maju peradabannya. Oleh karena itu, hanya dukungan dari berbagai pihaklah kemandirian akan terwujud, yang secara otomatis akan meningkatkan mutu / kualitas dan bahkan kuantitas dari tujuan / visi pendidikan yang sesungguhnya di negara ini. Semoga...

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan