Jumat, Agustus 22, 2008

Education for Business

oleh : Nilam Ramadhani
Staff Pengajar di UNIRA Pamekasan Madura

Beragamnya Jalur Masuk PTN
Citra “mendua” Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) akan tujuan pendidikan, saat ini telah semakin jelas benang merahnya. Bahkan, terkesan kedua lembaga pendidikan tinggi ini memasuki ranah “perseteruan bisnis”. Sebab ditengah melonjaknya biaya perkuliahan, PTN justru membuka jalur khusus diluar SPMB/SNMPTN meskipun pada SPMB 2007 misalnya, 56 PTN seluruh Indonesia menawarkan 96.066 kursi dari 1.924 program studi, naik dari tahun sebelumnya yang memberi jatah kursi sebanyak 93.741 (www.mediaindo.co.id). Hal ini diperkuat dengan adanya berita dari koran Kompas, Rabu 7 Mei 2008, tertulis di Universitas Indonesia (UI) Jakarta jalur masuk itu ada beberapa, yaitu :
Ujian Masuk Bersama (UMB) UI : 2290 kursi, (51%).
SNMPTN (Seleksi Nasional Mahasiswa PTN (dulu SPMB) : 900 kursi, (20%).
PPKB (Program Prestasi dan Pemerataan Kesempatan Belajar) : 450 kursi, (10%).
Jalur siswa berprestasi di olimpiade keilmuan (tanpa tes) : 30 kursi, (1%).
KSDI (Kerjasama Daerah dan Industri) ; 800 kursi, (18%), dengan total 4500 kursi.

Biaya Kuliah Selangit

Data diatas menunjukkan bahwa, pendidikan tinggi hanya diperuntukkan untuk kalangan menengah keatas saja. Bayangkan, untuk biaya kuliah reguler saja sudah tinggi, apalagi jika masuk melalui jalur-jalur khusus. Menurut Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Djalal, dari perhitungan (Depdiknas), rata-rata unit cost belajar di PTN secara standar sebesar Rp 30 juta per tahun. Dengan asumsi gelar sarjana (S-1) ditempuh empat tahun, dana yang dikeluarkan juga sangat besar, yakni sekitar Rp 120 juta. Biaya tersebut termasuk yang ditanggung pemerintah dan masyarakat. Fasli juga mengimbuhkan, saat ini mahasiswa yang berkuliah di PTN sekitar empat juta. Dengan jumlah itu, perputaran dana kuliah mahasiswa setahun Rp 120 triliun. Dana tersebut menunjukkan peningkatan signifikan sepanjang lima tahun terakhir. Itu sudah dihitung berdasar kenaikan harga kebutuhan kurun waktu lima tahun terakhir (Jawa Pos,26/07/2008).

Pikirkanlah Pendidikan Rakyat Kecil
Lantas bagaimana nasib rakyat kecil seperti Pak Ento tetangga saya, yang kesehariannya hanya berjualan kopi di warung depan rumahnya, dengan penghasilan sehari rata-rata Rp 20.000? Dia tidak bisa bermimpi anaknya berkuliah di PTN favorit, karena untuk makan mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-harinya saja sudah pas-pasan, apalagi untuk membayar biaya perkuliahan yang mencapai puluhan juta rupiah itu. Dan saya yakin, masih banyak lagi pak ento-pak ento lainnya, yang terpaksa memupuskan impian untuk menyekolahkan anaknya ke PTN favorit, meskipun pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya mencanangkan isu pemerataan pendidikan. Jika gagasan sekolah untuk rakyat miskin diterapkan di seluruh Indonesia, seperti apa yang telah dilakukan oleh Ibu Kembar Sri Rosiati dan Sri Irianingsih melalui Sekolah Darurat Kartini-nya, kita semua pasti optimis bahwa pemerataan pendidikan akan tercapai. Namun kenyataan yang terjadi saat ini, pendidikan seperti sesuatu yang diperjualbelikan saja.

PTS Kalah Saing Dengan PTN
Fenomena yang ada sekarang ini, para calon mahasiswa lebih memilih mendaftar ke PTN favorit daripada mendaftar ke PTS, meskipun biaya masuk dan perkuliahannya lebih besar. Alasannya pun cukup klasik, yaitu mengejar status yang “negeri” dan pemberian fasilitas penunjang belajar. Hal ini yang menjadi salah satu faktor banyaknya PTS kalah bersaing dengan PTN, bahkan menurut Sekjen Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Pusat Wayah S. Wirot, saat ini 30-40 persen atau sekitar 800 PTS di Indonesia terpaksa tutup. Kondisi itu terjadi karena PTS sulit bersaing dengan PTN (Jawa Pos,02/08/2008).
Memang PTS harus berbenah diri dengan memberikan standar mutu pendidikan yang memadai. Namun yang menjadi soal adalah, untuk membangun image PTS setara dengan PTN bonafit membutuhkan waktu yang cukup lama, mengingat kondisi perekonomian tiap daerah tidak sama, dan PTS selama ini lebih mengandalkan pembiayaan swadaya dari pemasukan mahasiswanya. Alih-alih mau berbenah diri, yang ada justru PTS nanti gulung tikar, menyusul 800 lainnya. Jika “persaingan” ini dibiarkan, setidaknya untuk saat ini, maka itu sama saja artinya mematikan potensi pendidikan daerah, serta menambah panjang daftar jumlah pengangguran di Indonesia. Apakah dengan biaya kuliah yang selangit, hal tersebut juga menentukan mutu dari perkuliahan, serta kelulusannya pun dapat diterima dalam dunia kerja? Menurut data yang dilansir oleh Departemen Pendidikan Nasional, pada ajaran 2005/2006, jumlah mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi negeri dan swasta sebanyak 323.902 orang. Namun, tidak semua yang lulus ini terserap oleh pasar. Data Sakernas (Survey Angkatan Kerja Nasional) per Februari 2007 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa, pengangguran dari kalangan perguruan tinggi naik jika dibandingkan tahun lalu. Pada Agustus 2006 penganggur dari kalangan terdidik berjumlah 673.628 orang atau 6,16 persen. Jumlah ini naik menjadi 740.206 atau 7,02 persen, pada 2007.

Perlunya Sinkronisasi Sistem Pendidikan dan Pasar Kerja
Apakah kenyataan ini yang diinginkan oleh lembaga pendidikan tinggi, dibalik besarnya biaya perkuliahan yang diminta kepada mahasiswanya? Hendaknya fakta diatas dijadikan barometer untuk introspeksi, bagaimana meningkatkan mutu pendidikan yang dibarengi dengan upaya untuk menjamin lulusannya dapat diterima di dunia kerja. Hal itu perlu dilakukan melalui sinkronisasi pendidikan dan kebutuhan bursa kerja. Karena menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Ari Sudjito, ia mengatakan, banyaknya penganggur terdidik (sarjana) disebabkan oleh tidak adanya sinergisitas antara sistem pendidikan dan pasar kerja.
Ketimpangan inilah yang membuat lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta, harus bergandengan tangan dalam pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya, tentu saja harus dibantu oleh pemerintah sebagai media penengahnya.
Oleh karena itu, diperlukan adanya kesamaan visi dan misi dua “kubu” lembaga pendidikan ini, supaya masyarakat luas tidak menilai keduanya “berseberangan”, tetapi bagaimana membuat citra “dua sisi yang menyatu”. Janganlah membuat pandangan masyarakat awam untuk berpikir bahwa, pendidikan sebagai “barang dagangan” (education for business). Namun harus tetap memegang teguh pada UUD, yang “menyuruh” setiap warga negara untuk berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Karena dengan begitu, pencapaiannya lebih maksimal, dan harapan akan pemerataan pendidikan betul-betul teramanatkan. Semoga…

Posting yang Berkaitan