Rabu, September 03, 2008

Anak : Antara Mendidik dan Menyayangi

oleh : Nilam Ramadhani

Acapkali kita melihat keponakan, anak tetangga, atau bahkan anak sendiri yang merengek minta dibelikan sesuatu. Keinginan itu harus dituruti jika tidak mau melihat anak semakin menjadi-jadi rengekannya. Hal itersebut seolah menjadi sesuatu yang wajar, karena rasa sayang terhadap anak tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu apapun. Namun juga patut diwaspadai, kebiasaan membiarkan menuruti kemauan anak justru bisa menjadi bom waktu bagi orangtua. Mengapa demikian? Karena proses didikan sejak kecil akan membawa pengaruh perilaku anak jika sudah dewasa nantinya. Saya bukan psikolog anak, namun saya memiliki “bahan ajar” di lapangan untuk pengamatan dalam tulisan ini.
Perilaku anak kecil jaman sekarang sudah berbeda jauh dengan pola ajar yang diberikan oleh para orangtua dulu (bukannya berlebihan lho!). Hal itu sangat dipengaruhi oleh peran media elektronik. Diantaranya yaitu media televisi yang menayangkan siaran bukan pada jam yang semestinya. Sehingga banyak anak-anak menonton tayangan yang bukan untuk dikonsumsi seusianya. Masih terngiang di benak kita kasus kekerasan anak yang disebabkan oleh tayangan SmackDown. Berapa banyak anak yang cedera, dan bahkan meninggal dunia akibat kultur kekerasan yang diperankan oleh tayangan itu? Hal yang lain adalah iklan. Sudah setumpuk iklan ditelevisi yang disitu menampilkan sosok anak sebagai ikon untuk menarik konsumen. Lagi-lagi ini merupakan strategi pasar yang dilakukan oleh Sang Kapitalis agar produknya bisa laku tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang terjadi. Sebut saja iklan makanan cepat saji (fast food). Mengapa selalu menampilkan anak-anak sebagai media sentral iklannya? Sederhananya, untuk membeli produk dimaksud, tidak mungkin kan sang anak lantas sendirian pergi ke restoran cepat saji, pasti si anak mengajak sang orangtua.(yang punya uang kan orangtua!).
Dengan membiarkan dan menganggap remeh hal semacam ini, tak heran nantinya sang anak akan digiring pola pikirnya kepada kebiasaan/budaya yang bukan asli Indonesia. Ini merupakan salah satu cara untuk menerapkan misi Westernisasi, Eropanisasi,dan Amerikanisasi oleh misionaris kapitalis melalui cara yang tidak kita sadari, yaitu : produk konsumsi! Anak sekarang lebih memilih makan burger McDonalds (yang notabene adalah junkfood!) daripada makan nasi pecel. Mereka lebih bangga makan Kentucky Fried Chicken daripada makan sayur lodeh bikinan ibunya. Hal inilah yang membuat kita para orangtua harus waspada akan derasnya modernisasi kebarat-baratan yang digulirkan para kapitalis ini. Karena sekali kita lengah, maka orangtua harus siap-siap merogoh kocek yang lebih dalam untuk menuruti keinginan semu anak-anak kita serta “makan hati” melihat perilaku menyimpang yang bisa ditimbulkan kelak.
Lantas seperti apa kita harus memperlakukan anak? Ada perbedaan mendasar antara mendidik dan menyayangi. Keluarga (didikan orangtua) merupakan salah satu senjata ampuh untuk menangkis masuknya budaya yang dapat merusak moral anak. Mendidik berarti mengarahkan, memberitahu, mengajari, memberi jalan keluar kepada anak tanpa membuat takut dan tetap menjaga dan memberi rasa aman. Hal ini sangat mendasar karena akan tetap menstabilkan sikap dan psikologis anak. Dorongan-dorongan yang sifatnya membangun, suri tauladan yang baik, pelu dicontohklan oleh orangtua. Karena anak cenderung meniru terhadap apa yang dilihat dan dirasakannya. Jangan lupa untuk selalu membekali anak dengan siraman agama. Ajarilah akhlak yang baik yang mengacu pada perilaku Rasulullah. Dan memberi gambaran-gambaran perbuatan/sikap/perilaku yang dilarang atau tidak diperbolehkan oleh agama. Tujuannya adalah, agar di dalam otak anak, terekam perbedaan yang mendasar antara perbuatan baik dengan perbuatan yang tecela.
Dengan mendidik seperti kurang lebih diatas, berarti para orangtua juga menunjukkan rasa sayang kepada buah hatinya. Sesibuk apapun, sang anak harus lebih banyak mengenali dunia luar dari orangtuanya sendiri. Jangan sampai porsi itu didelegasikan kepada orang lain. Ingat, dimasa anak-anak, mereka membutuhkan sosok “pahlawan” atau “superhero”. Kita tidak ingin anak nantinya mengidolakan Batman, Superman, Spiderman, dan tokoh superhero fiktif lainnya. Yang kita inginkan, sang anak tetap mengidolakan Ibu,Ayah,Bunda,Bapak,Mama,Papa,Enyak,Mak, Abah, Ummi, atau apalah sebutan untuk orangtua yang kita kasihi.
Proses menanamkan sikap untuk menjadikan orangtua adalah “superhero”, tidak lain untuk membuat anak agar selalu berbakti kepada orangtuanya. Sudah seberapa sering kasus anak membangkang pada orangtua, bahkan membunuh secara keji orang yang melahirkannya terjadi di negeri ini. Hal tersebut tidak terlepas oleh proses tidak-menjadikan orangtua sebagai “superhero” tadi. Bagaimanapun juga, inti kesemuanya adalah jalinan komunikasi dua arah, antara anak dan orangtua. Orangtua harus lebih mengerti keinginan anaknya, yang tentu saja harus diimbangi dengan nilai-nilai dan norma-norma agama.
Bukankah agama (Islam) telah mengajarkan bagaimana mendidik anak yang baik? Mulai dari memberi nama yang baik, merawat, hingga menanamkan pendidikan keimanan yang disitu terdapat pendidikan : akhlak, jasmani, intelektual, jiwa, dan sosial. Dengan memberikan dan menanamkan pendidikan yang baik sejak dini, diharapkan akan dapat menepis dan menangkis infiltrasi pengaruh budaya barat yang masuk melalui berbagai cara itu. Hingga yang tercipta, penerus generasi ini (anak), akan tetap mempertahankan budaya yang dapat dipertanggungjawabkan kepada agama dan Negara.

Cetak Halaman Ini

Posting yang Berkaitan



sobat_evolusi mengatakan...

Ketika kita berpikir berarti kita percaya dengan hal itu, tapi ketika tidak berpikir, maka kita tidak percaya dengan hal itu....!!!

emha_handoko@ymail.com "bersabda"

wakakakakakak